Rabu, 10 Februari 2010

Makalah : Etos Kerja


Mata kuliah semester III : PSDM
Dosen pengampu : Drs. Eddy Kurnia, MM
Dipresentasikan oleh : Drs. Sudayat



PENDAHULUAN

Bagi seorang muslim, makna bekerja berarti niat yang kuat untuk mewujudkan hasil kerja yang optimal atau outstanding performance, bukan hanya memberikan nilai rata-rata. Ada semacam “nyala api dalam dirinya (burning in his heart)” yang terus mengetuk-ngetuk dirinya seraya menyuarakan sebuah bisikan, “sungguh tidak pantas bagi seorang wakil Allah hanya bekerja asal-asalan, apalagi terpuruk dalam kemalasan dan kebodohan.”
Betapa besarnya penghargaan Islam terhadap makna bekerja ini, sehingga setiap pekerjaan yang diberikan makna atau niat yang luhur akan memuliakan pelakunya di hadapan Allah Swt. Dengan cara pandang seperti ini, setiap manusia tidaklah akan bekerja sekadar untuk bekerja, asal mendapat gaji, dapat surat pengangkatan, atau sekadar menjaga gengsi supaya tidak disebut sebagai penganggur. Hal ini karena kesadaran bekerja secara produktif serta dilandasi semangat tauhid dan tanggung jawab uluhiyah merupakan salah satu cirri yang khas dari karakter atau kepribadian seorang muslim.
Dalam salah satu riwayat, Rasulullah Saw menegaskan, “tangan di atas lebih mulia dari pada tangan di bawah,” seakan-akan menghantui dirinya, menggedor dan menggapai-gapai untuk selalu tampil sebagai subjek yang terbaik. Dia akan merasa nista apabila dalam hidupnya tak mampu memberikan makna pada lingkungannya, bahkan dia tak merasa berharga apabila harus hidup sebagai benalu yang hidupnya statis apalagi harus menjadi peminta-minta. Akan tetapi alangkah tersayatnya jiwa kita setiap menyaksikan begitu banyak orang yang menempatkan dirinya menjadi “tangan yang di bawah”.
Bahkan, sudah menjadi pemandangan umum, bila kita berjalan, kita akan menyaksikan panorama pemandangan di mana hampir di setiap perempatan atau pemberhetian lampu merah, kita menyaksikan orang-orang yang mengulurkan tangan meminta-minta sedekah, bahkan mencegat para pengemudi dengan kursi atau tong sampah dengan tidak lupa tulisan “untuk pembangunan masjid” dan diiringi oleh lagu kasidah atau pidato dai kondang yang disetel lewat tape recorder berulang-ulang. Hal ini tentu sah-sah saja, halal, tapi apakah thayyibah? Persyaratan sebuah kegiatan tidak hanya melulu benar secara syariat, tetapi juga kita harus menimbangnya dari segi nilai etika.

MEMBANGUN ETOS KERJA ISLAMI

A. Pengertian Etos Kerja
Secara etimologis, etos berasal dari bahasa Yunani (ethos) yang artinya sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Sedangkan etos kerja diartikan semangat kerja yang mejadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok. Etos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh budaya, serta sistem nilai yang diyakininya. Dari kata etos ini, dikenal pula kata etika, etiket, yang hampir mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkenaan dengan baik-buruk (moral), sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuatu secara optimal, lebih baik, dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin.
Dalam etos tersebut, ada semacam semangat untuk menyempurnakan segala sesuatu dan menghindari segala kerusakan (fasad) sehingga setiap pekerjaannya diarahkan untuk mengurangi bahkan menghilangkan sama sekali cacat dari hasil pekerjaannya. Sikap seperti ini dikenal dengan ihsan, sebagaimana Allah menciptakan manusia dalam bentuknya yang paling sempurna (fi ahsani taqwim). Senada dengan ihsan, dalam Al-Qur’an ditemukan pula kata itqan yang berarti proses pekerjaan yang sangat bersungguh-sungguh, akurat dan sempurana.
Firman Allah:
Artinya: “Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. An-Naml : 88)
Dari ayat tersebut mengandung pengertian bahwa seseorang muslim yang memiliki kepribadian qur’ani pastilah akan menunjukkan etos kerja yang bersikap dan berbuat serta menghasilkan segala sesuatu secara sangat bersungguh-sungguh dan tidak pernah mengerjakan sesuatu setengah hati. Dengan etos kerja yang bersumber dari keyakinan qur’ani ada semacam keterpanggilan yang sangat kuat dari lubuk hatinya. Apakah pantas seorang khalifah menunjukkan hasil kerja yang tidak berkualitas? Bila Allah telah berbuat ihsan, mengapa kita tidak mengikutinya untuk berbuat ihsan juga? Sebagaimana firman-Nya:
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”(QS. Al-Qashash: 77).
Etos yang juga mempunyai makna nilai moral adalah suatu pandangan batin yang bersifat mendarah-daging. Dan merasakan bahwa hanya dengan menghasilkan pekerjaan yang terbaik, bahkan sempurna, nilai-nilai Islam yang diyakininya dapat diwujudkan. Karenanya, etos bukan sekadar kepribadian atau sikap, melainkan lebih mendalam lagi, dia adalah martabat, harga diri dan jati diri seseorang.
Etos menunjukkan pula sikap dan harapan seseorang (raja’). Imam Al-Qusairi mengartikan harapan sebagai keterpautan hati kepada yang diinginkannya terjadi di masa yang akan datang. Perbedaan antara harapan dengan angan-angan (tamanni) adalah bahwasanya angan-angan membuat seseorang menjadi pemalas dan terbuai oleh khayalannya tanpa mau mewujudkannya.


B. Ciri-ciri Etos Kerja Islami
Budaya kerja Islami bertumpu pada akhlakul karimah, umat Islam akan menjadikan akhlak sebagai energi batin yang terus menyala dan mendorong setiap langkah kehidupannya dalam koridor jalan yang lurus. Ciri-ciri orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja akan tampak dalam sikap dan tingkah lakunya yang dilandaskan pada suatu keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu adalah ibadah. Ada semacam panggilan dari hatinya untuk terus-menerus memperbaiki diri, mencari prestasi dan tampil sebagai bagian dari umat yang terbaik (khairu ummah).
Adapun ciri-ciri etos kerja muslim adalah sebagai berikut:
1. Menghargai Waktu
Salah satu esensi dan hakikat dari etos kerja adalah cara seseorang menghayati, memahami, dan merasakan betapa berharganya waktu. Satu detik saja berlalu tidak mungkin dia kembali. Waktu merupakan deposito paling berharga yang dianugerahkan oleh Allah Swt secara gratis dan merata kepada setiap orang. Apakah dia orang kaya atau miskin, penjahat atau orang alim. Semua dapat jatah waktu sama, 24 jam atau 1.440 menit atau sama dengan 86.400 detik setiap hari. Tergantung kepada masing-masing manusia bagaimana dia memanfaatkan waktunya.
Salah satu ciri orang modrn adalah mereka yang menyikapi waktu dengan sangat bersung-sungguh. Mesin waktu yang melingkari lengan (jam tangan) bukan sekedar gengsi, melainkan benar-benar menunjukkan fungsi. Bahkan, tidak berlebihan bila saya katakan bahwa orang modern adalah orang yang telah dibentuk oleh sang waktu. Seorang muslim bagaikan kecanduan waktu. Dia tidak mau ada waktu yang hilang dan terbuang tanpa makna. Baginya, waktu adalah asset ilahiah yang sangat berharga, adalah ladang subur yang membutuhkan ilmu dan amal untuk diolah serta dipetik hasilnya pada waktu yang lain. Waktu adalah kekuatan. Mereka yang mengabaikan waktu berarti menjadi budak kelemahan. Bila kita memanfaatkan seluruh waktu, kita sedang berada di jalan keberuntungan.
2. Bekerja dengan Ikhlas.
Salah satu kompetensi moral yang dimiliki seorang yang berbudaya kerja Islami itu adalah nilai keikhlasan. Ikhlas mempunyai arti: bersih, murni (tidak terkontaminasi), sebagai antonim dari syirik (tercampur). Kata ikhlas dapat disejajarkan dengan sincere (bahasa Latin sincerus: pure) yang berarti suasana atau ungkapan tentang apa yang benar yang keluar dari hati nuraninya yang paling dalam.
Seorang muslim takut bahwa sesuatu pekerjaan yang dilatarbelakangi motivasi atau pamrih selain melaksanakan amanah, walaupun atas nama “ikhlas dan cinta”, akan berubah menjadi komoditas semata-mata. Keikhlasan hanya menjadi label atau simbul dari pengesahan dirinya untuk berbuat munafik.
Mukhlis adalah mereka yang memandang tugasnya sebagai pengabdian, sebuah keterpanggilan untuk menunaikan tugas-tugas sebagai salah satu bentuk amanah yang seharusnya demikian mereka lakukan. Seorang pelayan publik berbuat sesuatu karena memang demikianlah uraian tugas yang diterima. Karenanya, mereka menjadi manusia yang bebas untuk memenuhi tugasnya tanpa beban atau motivasi lain yang akan menodai kemurnian pandangannya terhadap tugas tersebut.
3. Selalu Jujur
Imam al-Qusairi mengatakan bahwa kata shadiq (orang jujur) berasal dari kata shidq (kejujuran). Kata shiddiq adalah bentuk penekanan (mubalaghah) dari shadiq dan berarti orang yang didominasi kejujuran.
Dengan demikian, di dalam jiwa seorang yang jujur itu terdapat komponen nilai ruhani yang memantulkan berbagai sikap yang berpihak kepada kebenaran dan sikap moral yang terpuji (morally upright). Dirinya telah dibelenggu, dikuasai, dan diperbudak oleh kejujuran. Dia merasa bangga menjadi budaknya Allah (‘abdullah). Dia merasa merdeka karena terpenjara oleh kejujuran. Tindakan yang menyimpang dari nilai ruhani kejujurannya itu berarti dia telah mengkhianati diri dan keyakinannya sendiri. Orang yang tidak jujur berarti menipu dirinya sendiri di hadapan Allah Swt.
Kejujuran adalah kunci surga. “Jauhi dusta karena dusta akan membawa kepada dosa dan dosa membawamu ke neraka. Biasakanlah berkata jujur Karena jujur akan membawamu kepada kebajikan dan membawamu ke surga”, demikian sabda Rasulullah Saw.
Budaya kerja Islami sangat mendorong untuk melahirkan seorang yang professional sekaligus memiliki integritas yang tinggi. Integritas (dari bahasa Latin: integrer, incorruptibility, firm adherence to a code of especially moral or artistic values). Dalam hal ini, Stephen R. Covey membedakan antara kejujuran dan integritas. “Honesty is telling the truth, in order word, conforming our words to reality. Integrity is conforming to our words, in other words, keeping promises and fulfilling expectations.”
Kisdarto menyatakan, “Tidak jujur dan kata-katanya tidak bisa dipegang berarti tidak bisa dipercaya. Jujur tetapi tidak mempunyai integritas berarti tidak bisa diandalkan. Mempunyai integritas, tetapi tidak jujur berarti diragukan itikadnya. Tetapi jujur dan mempunyai integritas menjadikan dirinya sebagi panutan.”
4. Memiliki Komitmen
Yang dimaksud dengan commitment (dari bahasa Latin: committere, to connect, entrust—the state of being obligated or emotionally impelled) adalah keyakinan yang mengikat (aqad) sedemikian kukuhnya sehingga membelenggu seluruh hati nuraninya dan kemudian menggerakkan perilaku menuju arah tertentu yang diyakininya (i’tiqad).
Penelitian menunjukkan bahwa pegawai yang memiliki komitmen tinggi kepada perusahaan merupakan orang yang paling rendah tingkat stresnya dan dilaporkan bahwa mereka yang berkomitmen itu merupakan orang yang paling merasakan kepuasan dari pekerjaannya itu.
Daniel Goldman dalam bukunya “Working with Emotional Intellegence”, melaporkan hasil penelitiannya, “Orang yang berkomitmen adalah para warga perusahaan teladan. Mereka berusaha menempuh perjalanan lebih panjang. Seperti kerikil yang dilontarkan ke tengah kolam, karyawan yang berkomitmen tersebut menyebarkan riak-riak perasaan kebahagiannya ke seluruh lingkungan perasaan. Komitmennya yang sangat tinggi memungkinkan dirinya berjuang keras menghadapi tantangan dan tekanan yang bagi orang yang tidak memiliki komitmen dirasakannya sebagai beban berat dan menimbulkan stres.
Goldman mengidentifikasikan ciri-ciri orang yang berkomitmen antara lain sebagai berikut:
a. Siap berkorban demi pemenuhan sasaran perusahaan yang lebih penting.
b. Merasakan dorongan semangat dalam misi yang lebih besar.
c. Menggunakan nilai-nilai kelompok dalam pengambilan keputusan dan penjabaran pilihan-pilihan.
5. Istiqamah (Konsisten)
Pribadi muslim yang professional dan berakhlak memiliki sikap konsisten (dari bahasa Latin consistere; harmony of conduct or practice with proffesion; ability to be asserted together without contradiction), yaitu kemampuan untuk bersikap secara taat asas, pantang menyerah, dan mampu mempertahankan prinsip serta komitmennya walau harus berhadapan dengan risiko yang membahayakan dirinya. Mereka mampu mengendalikan diri dan mengelola emosinya secara efektif. Tetapi teguh pada komitmen, positif, dan tidak rapuh kendati berhadapan dengan situasi yang menekan. Sikap konsisten telah melahirkan kepercayaan diri yang kuat dan memiliki integritas serta mampu mengelola stres dengan tetap penuh gairah.
6. Menegakkan Disiplin
Disiplin yaitu kemampuan untuk mengendalikan diri dengan tenang dan tetap taat walaupun dalam situasi yang sangat menekan. Pribadi yang berdisiplin sangat berhati-hati dalam mengelola pekerjaan serta penuh tanggung jawab memenuhi kewajibannya. Mata hati dan profesinya terarah pada hasil yang akan diraih (achievements) sehingga mampu menyesuaikan diri dalam situasi yang menantang.
Disiplin adalah masalah kebiasaan. Setiap tindakan yang berulang pada waktu dan tempat yang sama. Kebiasaan positif yang harus dipupuk dan terus ditingkatkan dari waktu ke waktu. Disiplin yang sejati tidak dibentuk dalam waktu satu-dua tahun, tetapi merupakan bentukan kebiasaan sejak kita kecil, kemudian perilaku tersebut dipertahankan pada waktu remaja dan dihayati maknanya di waktu dewasa dan dipetik hasilnya.
Kedisiplinan adalah fungsi operatif dari manajemen sumber daya manusia yang terpenting, karena semakin disiplin karyawan, semakin tinggi prestasi kerja yang dapat dicapainya. Tanpa disiplin karyawan yang baik, sulit bagi organisasi perusahaan mencapai hasil yang optimal.
Adapun indikator kedisiplinan, antara lain : tujuan dan kemampuan, teladan pimpinan, balas jasa, keadilan, waskat, sanksi hukuman, ketegasan dan hubungan kemanusiaan.
7. Percaya Diri
Pribadi muslim yang percaya diri tampil bagaikan lampu yang benderang, memancarkan raut wajah yang cerah dan berkharisma. Orang yang berada di sekitarnya merasa tercerahkan, optimis, tenteram dan muthmainnah. Penelitian Boyatzis membuktikan bahwa para penyelia, manajer, dan eksekutif yang percaya diri lebih berprestasi dari orang yang biasa-biasa saja.
Percaya diri melahirkan kekuatan, keberanian, dan tegas dalam bersikap. Berani mengambil keputusan yang sulit walaupun harus membawa konsekuensi berupa tantangan dan penolakan.
8. Kreatif
Pribadi muslim yang kreatif selalu ingin mencoba metode atau gagasan baru sehingga diharapkannya hasil kerja dapat dilaksanakan secara efisien, tetapi efektif. Seorang yang kreatif pun bekerja dengan informasi, data, dan mengolahnya sedemikian rupa sehingga memberikan hasil atau manfaat yang besar. Hidup bagaikan kanvas lukisan yang mendorong dan memanggil nuraninya untuk melukiskan gambar-gambar yang paling indah. Setiap hari adalah sebuah kegairahan untuk menjadikan dirinya memetik manfaat.
Goldman merangkum ciri-ciri orang yang kreatif memiliki beberapa ciri penting antara lain sebagai berikut:
a. Kuatnya motivasi untuk berprestasi: sangat bergairah untuk meningkatkan dan memenuhi standar keunggulan, menetapkan sasaran yang menantang dan berani mengambil risiko yang diperhitungkan, mencari informasi sebanyak-banyaknya guna mengurangi ketidakpastian dan mencari jalan yang terbaik, tekun belajar untuk meningkatkan kinerja mereka.
b. Komitmen: setia kepada visi dan sasaran perusahaan atau kelompok.
c. Inisiatif dan optimisme: kedua kecakapan kembar yang menggerakkan orang untuk menangkap peluang dan membuat mereka menerima kegagalan dan rintangan sebagai awal keberhasilan. Orang dengan kecakapan kembar seperti ini mempunyai kekuatan berinisiatif, siap memanfaatkan peluang mengejar sasaran lebih dari pada yang dipersyaratkan, senang mengajak orang lain melakukan sesuatu yang tidak lazim dan bernuansa penuh tantangan.
Mereka yang optimis menunjukkan sikap yang tekun dalam mengejar sasaran kendati banyak halangan. Bekerja dengan harapan untuk sukses, bukannya takut gagal. Memandang kegagalan atau kemunduran sebagai kendala yang dapat dikendalikan ketimbang sebagai kekurangan pribadi.
9. Bertanggung Jawab
Tanggung jawab sama dengan menanggung dan memberi jawaban, sebagimana di dalam bahasa Inggris, responsibility = able to response. Dengan demikian, pengertian takwa yang kita tafsirkan sebagai tindakan bertanggung jawab, ternyata lebih mendalam dari responsibility, dapat didefinikan sebagai sikap dan tindakan seseorang di dalam menerima sesuatu sebagai amanah; dengan penuh rasa cinta, dan ingin menunaikannya dalam bentuk pilihan-pilihan yang melahirkan amal prestatif.
Amanah adalah titipan yang menjadi tanggungan, bentuk kewajiban atau utang yang harus kita bayar dengan cara melunasinya sehingga kita merasa aman atau terbebas dari segala tuntutan. Harta, jabatan, bahkan hidup itu sendiri harus kita persepsi sebagai amanah karena di dalamnya ada muatan tanggung jawab untuk meningkatkan dan mengembangkannya lebih baik lagi.
Stephen R. Covey mengakui bahwa hati nurani harus senantiasa dilatih secara sungguh-sungguh dengan cara, “Membaca dan merenungkan literatur tentang kebijaksanaan, mengamati pengalaman orang lain, meluangkan waktu untuk tenang, dan mendengarkan suara kedalaman batin kita dan menanggapi suara tersebut. Tidaklah cukup hanya mendengarkan hati nurani, kita juga harus menanggapinya”.
Seorang muslim harus mempersepsi pekerjaannya sebagai amanah yang harus ditunaikan dengan penuh kesungguhan, yang kemudian melahirkan keyakinan yang mendalam bahwa:
Bekerja itu ibadah dan berprestasi itu indah. Sikap amanah sangat erat kaitannya dengan cara dirinya mempertahankan prinsip dan kemudian bertanggung jawab untuk melaksanakan prinsip-prinsipnya tersebut dengan tetap menjaga keseimbangan dan melahirkan nilai manfaat yang berkesesuaian (saleh). Prinsip merupakan fitrah paling mendasar bagi harga diri manusia. Menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya merupakan ciri seorang profesional.
10. Service Excellence
Melayani atau menolong seseorang merupakan bentuk kesadaran dan keperduliannya terhadap nilai kemanusiaan. Memberi pelayanan dan pertolongan merupakan investasi yang kelak akan dipetik keuntungannya, tidak hanya di akhirat, tetapi di dunia pun mereka sudah merasakannya.
Rasulullah Saw telah memberikan contoh dalam pelayanan dan betapa besar perhatian beliau terhadap manusia, bahkan makhluk lainnya. Dimuliakannya tamu yang datang kepadanya. Bila berjalan bersama dengan orang yang lemah, beliau mengiringkannya di belakang seraya mendoakannya.
Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan Abu Ya’la, al-Hakim, dan ath-Thabrani bahwa Sahal bin Hanif r.a. berkata, “Rasulullah mengunjungi orang-orang muslim yang lemah, menjenguk mereka yang sakit, dan mengantarkan jenazah-jenazah mereka.”
Beliau merasakan amanahnya sebagai rasul Allah, bukan sebagi raja atau pemimpin yang memiliki jarak dengan rakyatnya, melainkan beliau memandang amanahnya dalam bentuk tindakan pelayanan. Pemimpin itu adalah pelayan umat. Beliau memberikan keteladanan kepada kita tentang artinya pemimpin sebagai orang yang sangat besar perhatiannya kepada orang lain, bahkan tidak ingin dirinya menjadi beban. Inilah bentuk kepemimpinan modern yang telah dicontohkan Rasulullah kepada umat Islam. Sebuah gaya kepemimpinan yang melayani, kepemimpinan berdasarkan keteladanan, dan bahkan kepemimpinan yang berpusatkan pada nilai ruhaniah (spiritual leadership).
Seseorang yang amanah adalah orang-orang yang menjadikan dirinya sibuk untuk memberikan pelayanan. Mereka merasa bahagia dan memiliki makna apabila hidupnya dipenuhi dengan pelayanan. Mereka menerjemahkan SERVICE bukan hanya sekedar sebuah kata, melainkan memiliki makna yang berdimensi luas sebagaimana diuraikan berikut ini:
S – Self Awarness and self esteem, menanamkan kesadaran diri bahwa melayani merupakan bagian dari misi seorang muslim dan karenanya harus selalu menjaga self esteem (martabat) diri sendiri dan orang lain. Dalam pelayanan, harus ada semacam kesadaran diri yang sangat kuat bahwa dia ada karena dia melayani. Dia mempunyai harga karena mampu memberikan makna melalui pelayanan tersebut.
E – Empathy and Enthusiasm, lakukanlah empati dan layanilah dengan penuh gairah. Sikap yang penuh antusias akan memberikan efek batin bagi diri dan orang lain yang kita layani. Anda tidak pernah memiliki empati kecuali mampu memandang orang lain sebagai aset Ilahiah yang paling indah, meyakini bahwa pada setiap individu tersebut ada mutiara-mutiara ilmu dan pengalaman yang sungguh sangat berharga. Betapapun kedudukan orang tersebut, Anda bisa belajar darinya. Manusia adalah kampus kehidupan, kumpulan dari kitab pengalaman yang tidak diperoleh dari pengalaman seseorang di bangku sekolah atau kuliah.
R – Reform and Recover, berusaha untuk lebih baik dan lebih baik lagi, dan selalu memperbaiki dengan cepat setiap ada keluhan atau sesuatu yang bisa merusak pelayanan Anda.
V – Victory and Vision, melayani berarti ingin merebut hati dan membawa misi untuk membangun kebahagiaan dan kemenangan bersama (win-win). Dalam sikap melayani, kita harus memiliki pandangan ke depan untuk melakukan perbaikan dan peningkatan mutu.
I – Impressive and Improvement, berikanlah pelayanan yang mengesankan dan berusahalah selalu untuk meningkatkan perbaikan pelayanan. Rasulullah adalah orang yang selalu menampilkan kepribadian yang sangat menawan dan berkesan bagi siapa pun yang menjumpai beliau sehingga beliau senantiasa menjadi kerinduan bagi umatnya. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Umamah r.a. bahwa ia berkata, “Saya belum pernah melihat seseorang yang lebih banyak senyumnya dari pada Rasulullah Saw.” Dalam hal berkata-kata, beliau bahkan tidak pernah meninggalkan senyum di raut wajahnya, “Rasulullah itu tidak bertutur kata melainkan selalu tersenyum.” (HR Ahmad dari Abud-Darda r.a.).
C – Care, Cooperativeness, and Communication, tunjukkan perhatian yang sangat mendalam dan kembangkanlah nilai-nilai yang mampu membuka kerja sama. Jalinlah komunikasi sebagai jembatan emas untuk menumbuhkan sinergi dan keterbukaan.
E – Evaluation and Empowerment, lakukanlah penilaian, perenungan, dan upayakanlah selalu untuk memberdayakan seluruh aset yang ada. Pribadi muslim yang seharusnya profesional dan berakhlak itu akan menjadikan setiap geraknya adalah pelayanan yang berkualitas sehingga orang yang ada di sekitarnya merasakan kedamaian.

C. Manajemen Kerja
1. Serikat Pekerja
Menurut Samuel Gompers, yang dimaksud dengan serikat pekerja adalah sistem-sistem sosial yang terbuka yang mengejar tujuan dan dipengaruhi oleh lingkungan luar. Serikat pekerja merupakan wadah bagi karyawan sebagai wahana untuk berpartisipasi dalam perusahaan. Partisipasi karyawan dalam hubungan industrialisasi dapat dilakukan secara langsung dan atau melalui sistem perwakilan dalam bentuk serikat kerja. Partisipasi karyawan dalam hubungan industrial merupakan perwujudan hak dan kebebasan karyawan berorganisasi dan mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh konstitusi dan undang-undang.

2. Hubungan Kerja
Hubungan kerja dalam manajemen sumber daya manusia mempunyai tujuan untuk membicarakan kepentingan-kepentingan organisasi dan para pegawai atau tenaga kerja yang ada dalam organisasinya, agar dapat berhasil sesuai dengan tujuan dan sasaran organisasi. Mekanisme kerja dan hubungan kerja yang dilakukan, apa pun bentuknya dalam mencapai tujuan organisasi, ada saja yang tidak sesuai dengan rencana.
Untuk mengatasi hubungan kerja yang menimbulkan perselisihan diperlukan cara-cara yang tepat untuk memecahkan permasalahan, teruatama yang berhubungan dengan orang-orang yang tidak disiplin atau orang yang tidak sesuai dengan perkembangan tuntutan organisasi. Orang yang tidak sesuai dengan pekerjaan atau orang-orang yang terlibat dalam perselisihan hubungan kerja. Sehingga kita diperlukan pendekatan-pendekatan khusus untuk menangani hal-hal yang berhubungan dengan:
a. Permasalahan disiplin kerja;
b. Perselisihan dalam hubungan kerja;
c. Adanya kelebihan pegawai dan pengurangan pegawai.

3. Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Manajemen sumber daya manusia yang mempunyai tinjauan wawasan masa depan harus mempunyai program masukan sistem kesehatan dan keselamatan kerja bagi pegawai dalam organisasi.
Sebagai dasar untuk program kesehatan dan keselamatan kerja ini mencakup prinsip-prinsip dan fenomena sebagai berikut:
a. Memperhitungkan kemungkinan penyakit dan kecelakaan kerja, yang diakibatkan oleh beberapa faktor, dan faktor tersebut harus dicari dalam sistem manajemen antara lain kepemimpinan yang buruk, pengawasan yang kurang, sistem pendekatan kurang sistematis, dan lain sebagainya.
b. Bahaya potensial dalam program kesehatan dan keselamatan kerja, merupakan faktor determinan, yaitu adanya pengenalan bahaya yang potensial kepada para pekerja.

4. Strategi Kesehatan Kerja
Strategi kesehatan kerja sangat berhubungan erat dengan pengenalan dan pengendalian bahaya-bahaya kesehatan yang ditimbulkan oleh kelahan, tekanan batin (stress) kebisingan, radiasi maupun zat-zat beracun lainnya terhadap kondisi fisik manusia, pikiran, dan sikap tingkah laku para pegawai.
Pendekatan yang perlu dilakukan dalam strategi kesehatan ini mencakup langkah-langkah:
a. Mengenal zat-zat, keadaan atau proses yang benar-benar atau mempunyai potensi yang membahayakan para pekerja;
b. Mengadakan evaluasi bagaimana bahaya itu bisa timbul dengan mempelajari sifat dan sesuatu zat atau kondisi dan keadaan di mana bahaya tersebut terjadi. Hal tersebut juga memperhitungkan kondisi lingkungan dalam keadaan yang bisa berbahaya dalam bentuk intensitas dan lamanya pengaruh terhadap pekerja;
c. Mengadakan pengembangan teknik dan metode kerja untuk memperkecil risiko dengan melakukan pengendalian dan pengawasan atas penggunaan bahan-bahan yang berbahaya atau pada lingkungan-lingkungan di mana bahaya bisa terjadi.

5. Promosi Kerja
Promosi pekerjaan atau jabatan merupakan perkembangan yang positif dari seorang pekerja atau pegawai karena tugasnya dinilai baik oleh pejabat yang berwenang. Oleh karena itu, pemberian tanggung jawab dan kewenangan yang lebih tinggi patut diberikan kepada mereka yang berprestasi. Penilaian seorang pegawai dilakukan oleh pejabat yang membawahinya dan unit kerja biro yang mempunyai tugas untuk mengoleh seluruh biro yang mempunyai tugas untuk mengolah seluruh kegiatan administrasi kepegawaian.
Promosi bisa merupakan kenaikan pangkat, kenaikan jabatan, perpindahan lingkungan kerja yang lebih baik walaupun setingkat karena kompleksitas kerja, dan pemberian penghargaan lainnya.

6. Budaya Organisasi
Budaya organisai (organizational culture) adalah sekumpulan asumsi penting (keyakinan dan nilai-nilai) yang mempengaruhi opini dan tindakan dalam suatu perusahaan. Dalam perspektif pengembangan organisasi (organization development), budaya organisasi menggambarkan sistem sosial yang berlaku dalam sebuah perusahaan yang merangkum aspek-aspek kekuasaan atau kepemimpinan, nilai, norma dan ganjaran.
Kepemimpinan berkaitan erat dengan besarnya tingkat kewenangan dalam menerapkan budaya organisasi. Nilai mengacu pada standar nilai yang terutama berasal dari manajemen. Norma lebih diidentikkan dengan aturan main dalam perusahaan. Sementara ganjaran adalah sistem berikut mekanisme reward and punishment kepada karyawan yang melaksanakan budaya organisasi. Jika kepemimpinan akan sangat bergantung pada aspek skill (keterampilan/ kemampuan) yang dibutuhkan organisasi dan dimiliki oleh manajemen , maka ketiga aspek lainnya lebih banyak berhubungan dengan sistem yang disepakati untuk kemudian diterapkan dalam organisasi.

D. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan di atas, penyusun dapat menyimpulkan tentang betapa pentingnya membangun etos kerja Islami, yaitu sebagai berikut:
Etos kerja adalah semangat kerja yang mejadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok. Etos kerja dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh budaya, serta sistem nilai yang diyakininya. Dari kata etos ini, dikenal pula kata etika, etiket, yang hampir mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkenaan dengan baik-buruk (moral), sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuatu secara optimal, lebih baik, dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin;
Untuk membangun etos kerja Islami, seorang muslim harus memiliki ciri kepribadian seorang pekerja/karyawan yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai Islam seperti: menghargai waktu, bekerja dengan ikhlas, selalu jujur, memiliki komitmen, istiqomah, percaya diri, bertanggung jawab, disiplin, kreatif, melayani dengan prima (service excellence), dan lain-lain.
Selain itu, etos kerja Islami juga harus ditunjang dengan implementasi manajemen sumber daya manusia secara efektif dan efisien. Manajemen kerja yang harus ditegakkan antara lain adalah: pentingnya serikat kerja, hubungan pekerja, kesehatan dan keselamatan kerja, strategi keselamatan kerja, promosi kerja dan budaya organisasi.














Daftar Pustaka



Covey, Stephen R., Living The Seven Habit, 7 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif, (Jakarta: Binarupa Aksara, 2002).

Fathoni, Abdurrahmat, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, cet.I, 2006).

Nurdin, Ali, dkk., Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Faza Media, 2006).

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Edisi Ketiga, 2002).

Tasmara, Toto, Membudayakan Etos Kerja Islami, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002).

Yusanto, Muhammad, Ismail, & M. Karebet Widjajakusuma, Manajemen Strategis Perspektif Syariah, (Jakarta: Khairul Bayan, cet. I, 2003).

Makalah : TRAINING


Mata Kuliah semester III : Pengembangan Sumber daya Manusia
Dosen pengampu : Drs. Eddy Kurnia, MM
Dipresentasikan oleh : Moch. Deni Darmawan & Yunengsih


BAB I
PENDAHULUAN
Pelatihan menjadi salah satu pertimbangan yang signifikan dalam proses fungsi sumber daya manusia organisasi. Pelatihan memainkan peran kritis dalam memelihara dan mengembangkan kemampuan karyawan secara individual dan organisasi secara keseluruhan dan memberikan kontribusi dalam proses perubahan organisasi yang penting agar berjalan baik.
Sebuah pelatihan pendidikan bahkan sampai pengembangan sumber daya manusia adalah cara peningkatan pengetahuan individu. Pemberian pendidikan dan pelatihan bukan hanya diperlukan untuk karyawan baru, namun karyawan lama pun juga membutuhkannya.
Berbagai pengetahuan yang dimiliki oleh individu dalam organisasi dapat digunakan untuk mengantarkan sebuah organisasi mencapai tujuannya. Pengetahuan tentang pemberian pelatihan, pendidikan maupun pengembangan sumber daya manusia harus menjadi bagian dalam sebuah organisasi. Suatu organisasi hanya dapat berkembang dan hidup terus bilamana organisasi selalu tanggap terhadap Perubahan yang terjadi baik perubahan lingkungan, teknologi, dan ilmu pengetahuan.
Tantangan dan kesempatan bagian suatu organisasi baik dari dalam maupun dari luar, begitu rumit, karena itu perusahaan harus selalu dapat menyesuaikan tenaga kerjanya, khususnya dari segi kualitatif terhadap berbagai perubahan tersebut, dengan membekali tenaga kerjanya dengan berbagai pengetahuan dan ketrampilan melalui program pengembangan tenaga kerja. Pengembagan tenaga kerja melalui pelatihan adalah program yang khusus dirancang oleh suatu organisasi dengan tujuan membantu karyawan dalam meningkatkan kemampuan, pengetahuan dan memperbaiki sikapnya. Begitu juga didalam lembaga pendidikan, dimana peningkatan serta kemampuan guru dan kepala sekolah harus meningkat dan berkualitas.




BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi, ciri, tujuan, Komponen, Prinsip-prinsip perencanaan dan Manfaat Training
a. Terdapat beberapa pengertian tentang pelatihan atau training
1. Menurut Robert Mathis di dalam bukunya Human Resorces Management Manajemen Sumber Daya Manusia bahwa Pelatihan (training) adalah sebuah proses dimana orang mendapatkan kapabilitas untuk membantu pencapaian tujuan-tujuan organisasional.
2. Menurut Martoyo Susilo di dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia Pelatihan adalah proses yang dimaksudkan untuk memperbaiki penguasaan berbagai keterampilan dan teknik pelaksanaan kerja tertentu dalam waktu yang relatif singkat (pendek).
3. Menurut Hani Handoko di dalam bukunya Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia Pelatihan adalah proses dimaksudkan untuk memperbaiki penguasaan berbagai ketrampilan dan teknik pelaksanaan kerja tertentu, terinci dan rutin.
4. Menurut Ir. Rusli Syarif di dalam bukunya Tehnik Manajemen Latihan dan Pembinaan bahwa Latihan adalah suatu proses untuk membantu tenaga kerja untuk membentuk, meningkatkan dan mengubah pengetahuan, ketarampilan sikap dan tingkah lakunya agar dapat mencapai standar tertentu sesuai dengan apa yang dituntut oleh jabatannya.

b. Pelatihan bercirikan :
• Mengembangkan pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan
• Diberikan secara intruksional baik in-door maupun Out-door
• Obyeknya seseorang atau sekelompok orang.
• Sasaran untuk memberikan pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan kepada karyawan sesuai dengan kebutuhannya.
• Prosesnya mempelajari dan mempraktekkan dengan menuruti prosedur sehingga menjadi kebiasaan.
• Hasilnya terlihat dengan adanya perubahan, tepatnya perbaikan cara kerja di tempat.

c. Tujuan dan prioritas pelatihan
Tujuan dan prioritas pelatihan ditentukan untuk menutup kesenjangan tersebut. Tiga jenis tujuan pelatihan yang dapat ditetapkan adalah:
• Pengetahuan: menanamkan informasi kognitif dan perincian untuk peserta pelatihan
• Keterampilan: mengembangkan perubahan perilaku dalam menjalankan kewajiban-kewajiban pekerjaan dan tugas.
• Sikap: menciptakan ketertarikan dan kesadaran akan pentingnya pelatihan
Karena pelatihan kadang mempunyai anggaran yang besar dan organisasi mempunyai banyak kebutuhan pelatihan, maka diperlukan adanya penetapan prioritas. Idealnya, manajemen membuat prioritas atau tingkatan kebutuhan pelatihan berdasar pada kebutuhan organisasional.
Sedangkan menurut Dr. A. A. Anwar Prabu Mangkunegara, M. Si didalam bukunya Majanemen Sumber Daya Manusia Perusahaan, bahwa pelatihan bertujuan untuk :
1. Meningkatkan Penghayatan jiwa dan ideologi
2. Meningkatkan produktivitasn kerja
3. Meningkatkan kualitas kerjaan
4. Meningkatkan ketetapan perencanaan sumber daya manusia
5. Meningkatkan sikap moral dan semangat kerja
6. Meningkatkan rangsangan agar pegawai mampu berprestasi secara maksimal.
7. Meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja.
8. Menghindari keusangan (absolescence)
9. Meningkatkan perkembangan pegawai.

d. Komponen-Komponen Pelatihan dan Pengembangan
a. Tujuan dan sasaran pelatihan dan pengembangan harus jelas dan dapat diukur.
b. Para pelatih (Trainer) harus memiliki kualifikasi yang memadai
c. Materi latihan dan pengembangan harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan pegawai yang menjadi peserta.
d. Metode pelatihan dan pengembangan harus sesuai dengan tingkat kemampuan pegawai yang menjadi peserta.
e. Pesertan pelatihan dan pengembangan (trainee) harus memenuhi persyaratan yang ditentukan.

e. Prinsip-prinsip perencanaan Training
a. Materi harus diberikan secara sistematis dan berdasarkan tahapan-tahapan.
b. Tahapan-tahapan tersebut harus disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai.
c. Penatar harus mampu memotivasi dan menyebarkan respon yang berhubungan dengan serangkaian materi pelajaran.
d. Adanya penguat (reinforcement) guna membangkitkan respon yang positif dari peserta.
e. Menggunakan konsep shaping (pembentukan) perilaku.

f. Manfaat Training
Beberapa manfaat/faedah dari pelatihan dan pengembangan adalah:
1. Meningkatkan kepuasan kerja dan moral di antara karyawan
2. Meningkatkan motivasi karyawan
3. Meningkatkan efisiensi dalam proses
4. Peningkatan kapasitas untuk mengadopsi teknologi baru dan metode
5. Peningkatan dalam strategi dan inovasi produk
6. Memperbaiki metode dan sistem bekerja
7. Mengurangi biaya pemeliharaan mesin-mesin
8. Mengurangi kecelakaan-kecelakan
9. Memperbaiki komunikasi
10. Meningkatkan pengetahuan pegawai
11. Memperbaiki moral pegawai
12. Menimbulkan kerjasama yang lebih baik

B. Proses pelatihan
Terdapat beberapa tahap dalam pada proses pelatihan yaitu ; penilaian, rancangan, penyampaian, dan evaluasi. Penggunaan dari proses tersebut untuk mengurangi dan menghindari terjadinya usaha-usaha pelatihan yang tidak terencana, tidak terkoordinasi, dan serampangan.
1. Tahap Penilaian
Pelatihan dirancang untuk membantu organisasi mencapai tujuan-tujuannya. Oleh sebab itu, penilaian dari kebutuhan penilaian organisasional mencerminkan tahapan diagnositik dari penentuan tujuan-tujuan pelatihan. Penilaian ini melihat pada masalah-masalah kinerja karyawan dan organisasional untuk menentukan apakah dengan diadakannya pelatihan akan menolong. Proses pelatihan akan berjalan lebih optimal jika diawali dengan penilaian berupa analisa-analisa kebutuhan training yang tepat. Sehingga tujuan serta usaha-usaha penilaian bisa dicapai oleh suatu organisasi.
Goldsten dan Bukton (1982) mengemukakan ada tiga analisis kebutuhan pelatihan dan pengembangan, yaitu :
1. Organizational analysis
2. Job or task Analysis
3. Person Analysis

1. Organizational analysis (Analisis Organisasi)
Menganalisi tujuan Organisasi, sumber daya yang ada dan lingkungan organisasi yang sesuai dengan realita. Bagian penting dari perencanaan SDM strategis organisasional adalah identifikasi dari pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang akan dibutuhkan di masa depan seiring berubahnya pekerjaan dan organisasi. Misalnya, dalam lembaga Pendidikan, bahwa untuk menuju persiapan menjadi SBI, maka lembaga pendidikan tersebut mengadakan training dan pengembangan kepada semua bidang lembaga pendidikan tersebut, untuk memberikan pemahaman akan sebuah konsep dan teori, pengetahuan, sikap dan pengusaan ICT Based Learning, sehingga tujuan lembaga untuk menjadi sekolah bertaraf international bisa tercapai.
2. Job or task Analysis (Analisis pekerjaan/tugas)
Analisa kebutuhan ini untuk membantu pegawai untuk meningkatkan pengetahuan, skill,dan sikap terhadap suatu pekerjaan. Dengan membandingkan kebutuhan dalam pekerjaan dalam pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan karyawan, kebutuhan-kebutuhan pelatihan dapat diidentifikasi. Analisis yang berfokus pada kebutuhan tugas yang dibebankan pada satu posisi tertentu. Tugas dan tanggungjawab posisi ini dianalisa untuk diketahui jenis ketrampilan apa yang dibutuhkan. Jadi dalam analisa ini, yang menjadi fokus adalah tugas posisi, bukan orang yang memegang posisi tersebut.
Melalui metode task analysis ini, kita kemudian bisa menyusun semacam kurikulum pelatihan yang bersifat standard dan terpadu. Artinya, melalui analisa tugas dan spesifikasi yang dibutuhkan oleh setiap posisi, maka kita kemudian bisa merumuskan jenis-jenis pelatihan tertentu untuk setiap posisi tersebut. Beragam jenis pelatihan ini kemudian distandardkan dan menjadi pelatihan yang wajib diikuti oleh setiap orang yang menduduki posisi tersebut. Misalnya, dalam lembaga pendidikan, dalam proses pembelajaran SBI, maka seorang guru dituntut untuk mampu berkomunikasi dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar pembelajaran.
3. Person Analysis (Analisis individual/pegawai)
Analis yang berfokus pada level kompetensi orang yang memegang posisi tertentu. Analisa ditujukan untuk mengetahui kekurangan dan area pengembangan yang dibutuhkan oleh orang tersebut. Dari sini, kemudian dapat disusun jenis training apa saja yang diperlukan untuk orang tersebut.
Dalam analisa ini biasanya telah ditetapkan beragam jenis kompetensi dan juga standar level kompetensi yang diperlukan untuk suatu posisi tertentu. Misal, untuk posisi manajer diperlukan penguasaan terhadap 8 jenis kompetensi (misal, kompetensi leadership, communication skills, dll).
Kebutuhan training pegawai dapat dianalisis secara individu maupun kelompok.
1. Kebutuhan Individu dari pelatihan
Analisis kebutuhan individu dari pelatihan dapat dilakukan dengan cara observasi oleh supervisor, evaluasi keterampilan, kartu kontrol kualitas, dan tes keterampilan pegawai.
2. Kebutuhan kelompok dari pelatihan.
Kebutuhan kelompok dari pelatihan dapat diprediksi dengan pertimbangan informal dan observasi oleh supervisor maupun manajer.
Adapun alasan lain dari kebutuhan pelatihan adalah sbb:
1. Adanya pegawai baru.
Perlu memahami aturan-aturan, tujuan dan pedoman kerja. Memahami hak, kewajiban dan tugasnya sesuai dengan jobnya.
2. Adanya penemuan-penemuan baru
Kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi modern, dengan penemuan dan perubahan ini perlu adanya pelatihan-pelatihan. Misalnya penggunaan komputer, ICT Based Learning, dll.
3. Ada kebijakan/peraturan internal/eksternal, sistem, alat dan teknologi baru
4. Ada kemauan dan/atau kemampuan kerja karyawan di bawah standar
5. Ada rencana pengembangan untuk karyawan tertentu guna mengemban posisi tertentu.

Contoh-contoh informasi yang membantu untuk mendorong diadakannya training:
sering terjadi kesalahan dalam proses kerja
1. Keluhan dari pelanggan/rekan/kontak bisnis
2. Keluhan dari karyawan
3. Turn-over; tingginya prosentase keluar-masuk karyawan
4. Masalah-masalah yang berkaitan dengan absensi/disiplin/motivasi
5. Laporan-laporan tentang riset pasar, kontrol kualitas, keselamatan&keamanan kerja

Adapun cara untuk menentukan kebutuhan pelatihan dan pengembangan dapat dilakukan dengan cara berikut :
a. Analisis Jabatan/Kebutuhan
b. Tes Psikologi
c. Penyelidikan Moral
d. Analisis Kegiatan.
2. Tahap Rancangan

Setelah tujuan-tujuan pelatihan ditentukan, rancangan pelatihan dapat diselesaikan baik bersifat spesifik menurut pekerjaan atau lebih luas, pelatihan harus dirancang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang telah di nilai. Oleh sebab itu, seorang penyelenggarakan training harus mengetahui jenis, metode serta materi apa yang akan disusun dam dibuat. Berikut adalah jenis-jenis dan tehnik training yang bisa dipilih sesuai dengan tujuan dan kebutuhan organisasi.
1. Jenis-jenis Training
a. Dari segi materi, pelatihan dapat di golongkan menjadi 2(dua) jenis:
1. Pelatihan Wacana ( Knowledge Based Training )
2. Pelatihan Keterampilan (Skill Based Training)
1. Pelatihan Wacana ( Knowledge Based Training )
Adalah sebuah pelatihan mengenai sebuah wacana baru yang harus disosialisasikan kepada peserta dengan tujuan wacana baru tersebut dapat meningkatkan pencapaian tujuan organisasi/perusahaan.
2. Pelatihan Keterampilan ( Skill Based Training)
Adalah sebuah pelatihan mengenai pengenalan atau pendalaman keterampilan seseorang baik secara teknis (Hard Skill) maupun bersifat pengembangan pribadi ( Soft Skill).
Hard Skill Training : Salesmanship, Marketing Mix, IT/Komputer Skill, Management System, ISO, Finance, General Affair, Perpajakan, Audit, Operation Skill, HR Management, Distribution, Capital Market, dll
Soft Skill Training : Leadership, Komunikasi, Motivasi, Mind Set. Team Building, Ethos, Teknik Presentasi, Coaching, Pengembangan Diri, Kecerdasan Emosi dan Spriual, Interpersonal Communication Skill, dll
b. Jenis Training dilihat dari segi tempat dan tehnik.
1. On the Job Training (Pelatihan di tempat kerja)
Pelatihan yang menggunakan situasi dalam pekerjaan. Di sini karyawan diberi pelatihan tentang pekerjaan baru dengan supervisi langsung seorang pelatih yang berpengalaman (biasanya karyawan lain). Metode-metode yang digunakan diupayakan sedekat-dekatnya sehingga menggambarkan realita pekejaan yang sebenarnya. Dalam On the Job Training dibagi dalam beberapa metode yaitu ;
a. Job Instruction Training (Latihan Instruktur Pekerjaan)
Adalah dengan memberikan petunjuk-petunjuk pekerjaan secara langsung pada pekerjaan dan terutama digunakan untuk melatih para karyawan tentang cara-cara pelaksanaan pekerjaan sekarang. Pada metode ini didaftarkan semua langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam pekerjaan sesuai dengan urutannya.
b. Job Rotation (Rotasi pekerjaan)

Dalam rotasi jabatan karyawan diberikan kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan pada bagian-bagian organisasi yang berbeda dan juga praktek berbagai macam ketrampilan dengan cara berpindah dari satu pekerjaan atau bagian ke pekerjaan atau bagian lain.
c.Apprenticeships(magang)
Merupakan proses belajar dari seseorang atau beberapa orang yang lebih berpengalaman. Metode ini digunakan untuk mengembangkan keahlian perorangan, sehingga para karyawan yang bersangkutan dapat mempelajari segala aspek dari pekerjaannya.
d. Coaching
Adalah suatu cara pelaksanaan pelatihan dimana atasan mengajarkan keahlian dan ketrampilan kerja kepada bawahannya. Dalam metode ini pengawas diperlukan sebagai petunjuk untuk memberitahukan kepada peserta mengenai tugas atau pekerjaan rutin yang akan dilaksanakan dan bagaimana cara mengerjakannya.
e. Penugasan Sementara
Penempatan karyawan pada posisi manajerial atau sebagai anggota panitia tertentu untuk jangka waktu yang ditetapkan. Karyawan terlibat dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah-masalah organisasional nyata.

2. Off the Job Training (Pelatihan di tempat luar kerja)
Metode off the job adalah pelatihan yang menggunakan situasi di luar pekerjaan. Metode-metode yang digunakan diupayakan sedekat-dekatnya sehingga menggambarkan realita pekejaan yang sebenarnya. Dalam jenis pelatihan ini, kita bisa menggunakan metode simulasi dan tehnik presentasi informasi serta macam-macamnya yaitu;
1. Metode-metode Simulasi
Dengan pendekatan ini karyawan peserta latihan menerima representasi tiruan (artificial) suatu aspek organisasi dan diminta menanggapinya seperti dalam keadaan sebenarnya. Diantara metode-metode simulasi yang paling umum digunakan adalah sebagai berikut :
a. Metode Studi Kasus
Deskripsi tertulis suatu situasi pengambilan keputusan nyata disediakan. Aspek-aspek organisasi terpilih diuraikan pada lembar kasus. Karyawan yang terlibat dalam tipe latihan ini diminta untuk mengidentifikasikan masalah-masalah, menganalisa situasi dan merumuskan penyelesaian-penyelesaian alternative. Dengan metode kasus, karyawan dapat mengambangkan ketrampilan pengambilan keputusan.
b. Role Playing
Teknik ini merupakan suatu peralatan yang memungkinkan para karyawan (peserta latihan) untuk memainkan berbagai peran yang berbeda. Peserta diminta untuk memerankan individu tertentu yang digambarkan dalam suatu episode dan diminta untuk mengomentari peserta lain yang berbeda peran. Dalam hal ini tidak ada naskah yang mengatur pembicaraan dan prilaku. Efektivitas strategi ini bergantung pada kemampuan peserta untuk memainkan perannya (sedapat mungkin sesuai dengan realitas) yang ditugaskan kepadanya. Teknik role playing dapat mengubah sikap peserta, seperti misal menjadi lebih toleransi terhadap perbedaan individual, dan mengembangkan ketrampilan-ketrampilan antar pribadi (interpersonal skills).
c. Business Games
Business (management) game adalah suatu simulasi pengambilan keputusan skala kecil yang dibuat sesuai dengan situasi kehidupan bisnis nyata. Permainan bisnis yang kompleks biasanya dilakukan dengan bantuan computer untuk mengerjakan perhitungan-perhitungan yang diperlukan. Permainan disusun dengan aturan-aturan tertentu yang diperoleh dari teori ekonomi atau dari studi operasi-operasi bisnis atau industri secara terinci. Para peserta memainkan “game” dengan memutuskan harga produk yang akan dipasarkan, berapa besar anggaran periklanan, siapa yang ditarik, dan sebagainya. Tujuannya adalah untuk memilih para karyawan (atau manajer) dalam pengambilan keputusan dan cara mengelola operasi-operasi perusahaan.
d. Vestibule Training
Agar program latihan tidak mengganggu operasi-operasi normal, organisasi menggunakan vestibule training. Bentuk latihan ini dilakukan bukan oleh atasan (penyelia), tetapi oleh pelatih-pelatih khusus. Area-area terpisah dibangun dengan berbagai jenis peralatan sama seperti yang akan digunakan pada pekerjaan sebenarnya.
e. Latihan Laboratorium (Laboratory Training)
Teknik ini adalah suatu bentuk latihan kelompok yang terutama digunakan untuk mengembangkan ketrampilan-ketrampilan pribadi. Salah satu bentuk latihan laboratorium yang terkenal adalah latihan sensivitas, dimana peserta belajar menjadi lebih sensitive (peka) terhadap perasaan orang lain dan lingkungan. Latihan ini juga berguna untuk mengembangkan berbagai perilaku bagi tanggung jawab pekerjaan diwaktu yang akan datang.
f. Program-program Pengembangan Eksekutif
Program-program ini biasanya diselenggarakan di universitas atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Organisasi bisa mengirimkan karyawannya untuk mengikuti paket-paket khusus yang ditawarkan; atau bekerjasama dengan suatu lembaga pendidikan untuk menyelenggarakan secara khusus suatu bentuk penataran, pendidikan atau latihan sesuai kebutuhan organisasi.

2. Teknik-teknik Presentasi Informasi
Tujuan utama teknik-teknik presentasi (penyajian) informasi adalah untuk mengajarkan berbagai sikap, konsep atau ketrampilan kepada para peserta. Metode-metode yang biasa digunakan :
a. Kuliah
Ini merupakan suatu metode tradisional dengan kemampuan penyampaian informasi, banyak peserta dan biaya relative murah. Para peserta diasumsikan sebagai pihak yang pasif. Kelemahannya dalah tidak atau kurang adanya partisipasi dan umpan balik. Hal ini dapat diatasi bila diskusi atau pembahasan kelas diadakan selama proses kuliah. Teknik kuliah cenderung lebih tergantung pada komunikasi, bukan modeling.
b. Presentasi Video
Presentasi TV, slides, film dan sejenisnya dalah serupa dengan bentuk kuliah. Metode ini bisanya digunakan sebagai bahan atau alat pelengkap bentuk-bentuk latihan lainnya.
c. Metode Konperensi
Metode ini analog dengan bentuk kelas seminar di perguruan tinggi, sebagai pengganti metode kuliah. Metode konperensi sering berfungsi sebagai “tulang belakang“ bagi berbagai macam program latihan hubungan manusiawi. Tujuannya adalah untuk mengembangkan kecakapan dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dan untuk mengubah sikap karyawan. Proses latihan hampir selalu berorientasi pada diskusi tentang masalah atau bidang minat baru yang telah ditetapkan sebelumnya.
d. Programmed Instruction
Metode ini menggunakan mesin pengajar atau computer untuk memperkenalkan kepada para peserta topik yang harus dipelajari, dan memerinci serangkaian langkah dengan umpan balik langsung pada penyelesaian setiap langkah. Masing-masing peserta bisa menetapkan kecepatan belajarnya sendiri. Sebelum pelajaran dimulai, perlu dilakukan tes penempatan (placement test) untuk menentukan tingkat awal setiap peserta. Instruksi-instruksi dipersiapkan oleh para ahli (spesialis) dari berbagai disiplin ilmu; antara lain, psikologi pendidikan yang bekerja pada pengembangan cara-cara pengajaran, spesialis bidang tertentu menyusun teks dan kasus, pemrogram menterjemahkan masalah-masalah kedalam bahasa komputer, dan sterusnya.
e. Studi Sendiri (Self-Study)
Programmed instruction yang telah dibahas diatas merupakan salah satu bentuk studi sendiri. Teknik ini biasanya menggunakan manual-manual atau modul-modul tertulis dan kaset-kaset atau videotape rekaman. Studi sendiri berguna bila para karyawan tersebar secara geografis atau bila proses belajar hanya memerlukan sedikit interaksi.

3. Tahap Penyampaian
Setelah dilakukan penilaian dan perancangan pelatihan, pelatihan dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang ada, dengan metode dan jenis pelatihan yang telah ditentukan dan juga ada langkah pemantauan terhadap jalannya pelatihan. Dalam penyampaian harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
• Berpusat pada absensi siswa
• Menguasai bahan dan kelas
• Harus bersungguh-sungguh (selingi dengan humor)
• Harus merupakan peraga yang baik
• Instruktur dapat dilihat dan didengar oleh siswa
• Beri contoh-contoh nyata (perumpamaan-perumpamaan)
• Harus menjaga waktu.

Berikut skema agar penyampaian training dapat diterima











Tabel 1

4. Tahap Evaluasi
Evaluasi pelatihan membandingkan hasil-hasil sesudah pelatihan pada tujuan-tujuan yang diharapkan oleh para manager, pelatih dan peserta pelatihan. Ada empat kriteria yang dapat digunakan sebagai pedoman dari ukuran kesuksesan pelatihan, yaitu kriteria pendapat, kriteria belajar, kriteria perilaku dan kriteria hasil
Kriteria pendapat : Berdasarkan pada bagaimana pendapat peserta mengenai program pelatihan secara keseluruhan, dari segi materi, metode, penmyampaian, situasi dsb. Untuk mengukur hasil ini bisa menggunakan kuesioner atau wawancara mengenai pelaksanaan pelatihan.
Kriteria Belajar. Dapat diperoleh dengan menggunakan tes pengetahuan, tes keterampilan yang mengukur skill, serta kemampuan memahami konsep, ide, teori dan sikap.
Kriteria perilaku. Kriteria dapat diperoleh dengan menggunakan tes keterampilan kerja. Sejauh mana ada perubahan peserta sebelum latihan dan setelah latihan.
Kriteria hasil. Kriteria hasil dapat dihubungkan dengan hasil yang diperoleh seperti menekan turnover, berkurangnya tingkat absen, meningkatnya produktivitas. Meningkatnya penjualan, meningkatnya kualitas kerja dan produksi.
Skema Tahap Proses Pelatihan













BAB III
KESIMPULAN
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa Pelatihan (Training) merupakan kegiatan pengembangan yang signifikan dalam peningkatan Sumber Daya Manusia yang lebih baik dan berkualitas. Untuk memahami sebuah pelatihan maka kita harus betul-betul mempelajari tentang pelatihan dari tataran konsep atau teori. Setelah kita memahami beberapa pengertian tentang pelatihan, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa pelatihan adalah proses kegiatan dan upaya untuk meningkatkan keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge) dan sikap (attitude) untuk meningkatkan produktivitas dan kinerja karyawan dalam mencapai tujuan organisasinya.
Tetapi agar pelatihan dapat berjalan dengan baik, efektif dan sesuai dengan tujuan organisasi, maka dibutuhkan beberapa tahap agar kegiatan pelatihan ini bisa terarah dan diukur tingkat keberhasilannya. Untuk mencapai hal itu, maka harus melalui beberapa tahapan proses. Pertama, tahap penilaian, yaitu menilai segala permasalahan sehingga bisa identifikasi serta dianalisis kebutuhan apa yang dibutuhkan. Dalam tahap ini, ada 3 analisis kebutuhan, yaitu analisis Organisasi, tugas/pekerjaan dan personal.
Setelah mengetahui kebutuhan apa yang dibutuhkan sehingga sesuai dengan tujuan organisasi. Maka tahap selanjutnya yaitu tahap rancangan. Tahap ini merancang training sedemkian rupa dan menentukan segala jenis training apa yang sesuai. Memilih metode yang tepat, materi apa yang sesuai dengan tujuan serta menentukan perlengkapan lainnya yang mendukung training tersebut. Ketiga yaitu tahap penyampaian, hal yang perlu diperhatikan pada tahap ini adalah bagaimana pendekatan dan penyampaian yang tepat sehingga pesan yang disampaikan bisa mudah dipahami.
Ke-empat yaitu tahap evaluasi. Pada tahap ini kita bisa mengevaluasi keseluruhan proses training dan mengukur tingkat keberhasilannya. Sebab dalam proses training pasti ada kendala serta hambatan baik sebelum acara, saat acara berlangsung dan sesudahnya. Ada empat criteria untuk mengukur tingkat keberhasilan training yaitu kriteria pendapat, criteria belajar, perilaku dan hasil. Begitu juga Dalam lembaga pendidikan, analisis kebutuhan menyangkut tujuan sekolah sehingga bisa menentukan training apa yang tepat.


DAFTAR ISI

Mangkunegara, Anwar Prabu, Drs. M.Si. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,2008)
Syarif, Rusli, Ir. Tehnik Manajemen Latihan dan Pembinaan. (Bandung: Angkasa, 1987) cet.10
Mathis, Robert L.Human Resorces Management Manajemen Sumber Daya Manusia (terjemahan) (Jakarta: Salemba Empat, 2006.)
Martoyo, Susilo. Manajemen Sumber Daya Manusia. (Yogyakarta: BPFE- Yogyakarta, 2000.)
Handoko, Hani. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. (Yogyakarta: BPFE- Yogyakarta, 2001)

Site
www.scribd.com/doc/7792360/Training-Process-Manajemen-Sumber-Daya-Manusia
http://rajapresentasi.com/2009/04/jenis-jenis-training/
http://www.captureasia-network.com/?p=229 * Sumber dari International Human Resources Journal Edisi Mei 1996

Senin, 01 Februari 2010

Tips Membaca Cepat dan Efektif


Para Mahasiswa FITK UIN Jakarta dan lainnya yang saya banggakan, jika Anda belum terbiasa membaca dengan cepat dan efektif, cobalah Rumus SQ3R ini diterapkan dalam membaca.

1. Survey (Meninjau, menelusuri)
Usaha untuk mengetahui garis besar isi dari bacaan serta cara penyusunan dan penyajiannya secara sepintas lalu, sehingga diperoleh kesan dan “landasan pemikiran” mengapa sebuah buku ditulis? Sebelum membaca keseluruhannya, cobalah Anda amati, baca kata pengantarnya, dan kalau ada baca juga resensinya di media massa!

2.Question (Mengajukan Pertanyaan)
Mengajukan pertanyaan terhadap masalah, isi, atau ruang lingkup yang akan dibaca bertujuan untuk menimbulkan rasa ingin tahu. Orang yang ingin tahu akan berusaha mencari jawabannya. Membaca adalah upaya untuk menemukan jawaban terhadap sesuatu yang membuat Anda penasaran!

3.Reading (Membaca)
Bacalah dengan cermat bahan pelajaran/buku satu kali lagi sambil berusaha untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sudah diajukan.

4. Recite (Mengingat sambil menyebutkan kembali)
Rahasia yang perlu diketahui dalam menyebutkan kembali ialah sebutkan dengan menggunakan kata-kata sendiri. Mengingat dan menyebutkan kembali merupakan langkah yang penting karena dengan cara ini Anda dapat mengenali dan juga mempelajari jawaban.

5. Record (Mencatat)
Tujuan membuat catatan ialah untuk menolong kita mengingat pokok-pokok yang penting tanpa membaca kembali bahan bacaan itu sendiri. Catatan yang Anda buat hendaknya singkat tapi mencakup hal-hal yang penting. Catatannya dibutuhkan untuk merangsang ingatan kembali apa yang kita pelajari.

6. Review (Mengulang Kembali)
Mengulang kembali berarti mengungkapkan kembali apa yang telah Anda pelajari tanpa melihat catatan. Mengulang bahan pelajaran dan buku secara teratur amat berguna karena mengingatkan kembali pengetahuan yang telah Anda pelajari sebelumnya.

Selamat mencoba, dan jangan lupa mulai dengan basmalah (iqra’ bismi rabbik) plus do’a sebelum belajar, sambil diniati dengan setulus dan sepenuh hati bahwa membaca itu perintah pertama al-Qur’an alias ibadah. Sebelum diakhiri, coba tanya terlebih dahulu kepada diri sendiri: apa pesan dan pelajaran yang sudah bisa dipahami dan diamalkan.. Niati kembali untuk mendalami dan terus memperluas cakrawala... lalu kalau sudah capek... akhiri dengan bersyukur kepada Allah sambil membaca hamdalah. Ingat, membaca itu nikmat. Membaca adalah awal kebahagiaan hidup Anda. Selamat membaca!!!

Salam dari Pudek Bidang Kemahasiswaan FITK
Muhbib Abdul Wahab
Thursday, January 28, 2010 at 6:29pm

Kamis, 28 Januari 2010

Makalah : PENGARUH BUDAYA TERHADAP PERILAKU ORGANISASI


Makalah ini diajukan untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. M. Darwis Hude, M.Si
Dipresentasikan Oleh : Siti Komariah



I.PENDAHULUAN

Perilaku organisasi hakikatnya mendasarkan pada ilmu perilaku itu sendiri yang dikembangkan dengan pusat perhatiannya pada tingkah laku manusia dalam suatu organisasi. Kerangka dasar bidang pengetahuan ini harus didukung paling sedikit dua komponen, yakni individu-individu yang berperilaku dan organisasi formal sebagai wadah dari perilaku itu. Ciri peradaban manusia yang bermasyarakat senantiasa ditandai dengan keterlibatannya dalam suatu organisasi tertentu. Itu berarti bahwa manusia tidak bisa melepaskan dirinya untuk tidak terlibat pada kegiatan-kegiatan berorganisasi.

Pendekatan perilaku dalam organisasi mempertaruhkan bahwa manusia dalam organisasi adalah suatu unsur yang kompleks, dan karena adanya suatu kebutuhan pemahaman teori yang didukung oleh riset yang empiris sangat diperlukan sebelum diterapkan dalam mengelola manusia itu sendiri secara efektif. Untuk memahami aspek-aspek manusia sebagai suatu dimensi dalam organisasi maka diperlukan pendekatan ilmu perilaku organisasi.

Dalam sebuah organisasi juga terdapat budaya organisasi. Sebagaimana budaya-budaya suku memiliki totem dan pantangan yang mengatur bagaimana masing-masing anggota suku bertindak terhadap sesama anggota suku dan terhadap orang dari luar suku, maka suatu organisasi juga memiliki budaya yang mengatur bagaimana anggota-anggotanya bersikap.
Pengaruh budaya organisasi terhadap perilaku organisasi amat signifikan. Karena itu menciptakan budaya organisasi yang sifatnya unik untuk setiap organisasi amatlah penting. Untuk itu pada makalah ini akan dibahas mengenai budaya organisasi dan pengaruhnya terhadap perilaku organisasi.





II.PEMBAHASAN

A.BUDAYA ORGANISASI


Masyarakat terdiri dari manusia dan budayanya. Para ahli antropologi sering kali menggunakan istilah sociocultural. Mereka berpendapat bahwa budaya suatu bangsa dipelajari, diyakini bersama, dan bahwa budaya tersebut mendefinisikan batasan untuk berbagai kelompok yang berbeda dan berbagai aspek budaya nasional, oleh karena itu, budaya nasional merupakan suatu gabungan total dari keyakinan, ritual, peraturan, adat, artifak, dan institusi yang menentukan ciri populasi tersebut.
Nilai, norma, adat, dan ritual budaya tidak muncul begitu saja, tetapi berkembang melalui evolusi dan dipengaruhi oleh politik, agama, bahasa, dan aspek budaya yang lain. Individu dan kelompok dalam masyarakat memainkan suatu peran dalam perjalanan yang ditempuh oleh budaya selama beberapa waktu.
Budaya dan sub – budaya suatu bangsa mempengaruhi bagaimana transaksi organisasi dilakukan. Pengetahuan, rasa hormat, rasa fleksibilitas dalam mengikuti perbedaan budaya nasional telah menjadi faktor penting untuk dipertimbangkan oleh manajer dalam rencana yang mereka buat. Belajar bekerjasama dalam sebuah dunia yang dipengaruhi oleh perbedaan budaya nasional menjadi persyaratan utama manajemen yang efektif. Manajemen perlu memahami budaya nasional dan berbagai karakteristik budaya organisasi.

1. Pengertian Budaya Organisasi

Budaya organisasi memiliki makna yang luas, antara lain:
Menurut Luthans ( 1998 ), budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi.
Sarplin ( 1995 ) mendefinisikan budaya organisasi merupakan suatu sistem nilai, kepercayaan dan kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur sistem formalnya untuk menghasilkan norma-norma perilaku organisasi.
Schein ( 1992 ) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu pola dari asumsi-asumsi dasar yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu, dengan maksud agar organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi masalah-masalahnya yang timbul akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal yang sudah berjalan dengan cukup baik, sehingga perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami, memikirkan dan merasakan berkenaan dengan masalah-masalah tersebut.
Menurut Mondy dan Noe ( 1996 ), budaya organisasi adalah sistem dari shared values, keyakinan dan kebiasaan-kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur formalnya untuk menciptakan norma-norma perilaku.
Hodge, Anthony dan Gales ( 1996 ) mendefinisikan budaya organisasi sebagai konstruksi dari dua tingkat karakteristik, yaitu karakteristik organisasi yang kelihatan ( observable ) dan yang tidak kelihatan ( unobservable ).

Pada level observable, budaya organisasi mencakup beberapa aspek organisasi seperti arsitektur, seragam pola perilaku, peraturan, legenda, mitos, bahasa, dan seremoni yang dilakukan perusahaan. Sedangkan pada level unobservable, budaya organisasi mencakup shared values, norma-norma, kepercayaan, asumsi-asumsi para anggota organisasi untuk mengelola masalah dan keadaan-keadaan disekitarnya.
Budaya organisasi juga mengacu ke sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lain.
Sistem makna bersama ini, bila diamati dengan lebih seksama, merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi itu. Riset paling baru mengemukakan tujuh karakteristik primer berikut yang bersama-sama menangkap hakikat dari budaya organisasi.
a.Inovasi dan pengambilan resiko
b.Perhatian terhadap detail
c.Orientasi hasil
d.Orientasi orang
e.Orientasi tim
f.Keagresifan
g.Kemantapan

Setiap karakteristik tersebut berada pada kontinum dari rendah ke tinggi. Maka dengan menilai organisasi itu berdasarkan tujuh karakteristik ini, akan diperoleh gambaran gabungan atas budaya organisasi itu. Gambaran itu menjadi dasar bagi perasaan pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi itu, cara penyelesaian urusan di dalamnya, dan cara para anggota diharapkan berperilaku.


2.Peran Budaya Organisasi

Dari pengertian budaya organisasi di atas, tampak bahwa budaya organisasi memiliki peran yang sangat strategis untuk mendorong dan meningkatkan efektifitas kinerja organisasi, khususnya kinerja manajemen dan kinerja ekonomi, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Peran budaya organisasi adalah sebagai alat untuk menentukan arah organisasi, mengarahkan apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, bagaimana mengalokasikan sumber daya dan mengelola sumber daya organisasional, dan juga sebagai alat untuk menghadapi masalah dan peluang dari lingkungan internal dan eksternal.



3.Tingkat Budaya


Schein membagi ke dalam tiga tingkatan budaya, yaitu:
a.Artifacts, yaitu struktur dan proses organisasional purba yang dapat diamati tapi sulit ditafsirkan.
b.Espaused Values, yaitu tujuan, strategi dan filsafat
c.Basic Underlaying Assumptions, yaitu kepercayaan, persepsi, perasaan yang menjadi sumber nilai dan tindakan.
Jika dihubungkan dengan nilai, tingkatan budaya dapat dibagi menurut kuantitas dan kualitas sharing ( keberbagian ) suatu nilai dalam masyarakat:
•Semakin banyak anggota masyarakat ( aspek kuantitatif ) yang menganut, memiliki dan menaati suatu nilai, maka semakin tinggi tingkat budayanya.
•Semakin mendasar penataan nilai ( aspek kualitatif ), semakin kuat budayanya


4.Fungsi Budaya

Budaya memiliki beberapa fungsi di dalam suatu organisasi, antara lain:
a.Budaya memiliki suatu peran batas-batas penentu, yaitu budaya menciptakan perbedaan antara satu organisasi dengan organisasi yang lain.
b. Budaya berfungsi untuk menyampaikan rasa identitas kepada anggota-anggota organisasi
c.Budaya mempermudah penerusan komitmen hingga mencapai batasan yang lebih luas, melebihi batasan ketertarikan individu
d.Budaya mendorong stabilitas sistem sosial. Budaya merupakan suatu ikatan sosial yang membantu mengikat kebersamaan organisasi dengan menyediakan standar-standar yang sesuai mengenai apa yang harus dikatakan dan dilakukan karyawan.
e.Budaya bertugas sebagai pembentuk rasa dan mekanisme pengendalian yang memberikan panduan dan bentuk perilaku serta sikap karyawan
5.Hal-hal yang Mempengaruhi Budaya Organisasi
Menurut Piti Sithi-Amnuai bahwa pembentukan budaya organisasi terjadi tatkala anggota organisasi belajar menghadapi masalah, baik masalah-masalah yang menyangkut perubahan eksternal maupun masalah internal yang menyangkut persatuan dan keutuhan organisasi.
Pembentukan budaya akademisi dalam organisasi diawali oleh para pendiri (founder) institusi melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
Seseorang mempunyai gagasan untuk mendirikan organisasi.
Ia menggali dan mengarahkan sumber-sumber baik orang yang sepaham dan setujuan dengan dia (SDM), biaya dan teknologi.
Mereka meletakan dasar organisasi berupa susunan organisasi dan tata kerja.

Menurut Vijay Sathe dengan melihat asumsi dasar yang diterapkan dalam suatu organisasi yang membagi “Sharing Assumption” Sharing berarti berbagi nilai yang sama atau nilai yang sama dianut oleh sebanyak mungkin warga organisasi. Asumsi nilai yang berlaku sama ini dianggap sebagai faktor-faktor yang membentuk budaya organisasi yang dapat dibagi menjadi :
Share things, misalnya pakaian seragam seperti pakaian Korpri untuk PNS, batik PGRI yang menjadi ciri khas organisasi tersebut.
Share sayings, misalnya ungkapan-ungkapan bersayap, ungkapan slogan, pemeo seprti didunia pendidikan terdapat istilah Tut wuri handayani, Baldatun thoyibatun wa robbun ghoffur diperguruan muhammadiyah.
Share doing, misalnya pertemuan, kerja bakti, kegiatan sosial sebagai bentuk aktifitas rutin yang menjadi ciri khas suatu organisasi seperti istilah mapalus di Sulawesi, nguopin di Bali.
Share feeling, turut bela sungkawa, aniversary, ucapan selamat, acara wisuda mahasiswa dan lain sebagainya.

Sedangkan menurut pendapat dari Dr. Bennet Silalahi bahwa budaya organisasi harus diarahkan pada penciptaan nilai (Values) yang pada intinya faktor yang terkandung dalam budaya organisasi harus mencakup faktor-faktor antara lain: : keyakinan, nilai, norma, gaya, kredo dan keyakinan terhadap kemampuan pekerja
Untuk mewujudkan tertanamnya budaya organisasi tersebut harus didahului oleh adanya integrasi atau kesatuan pandangan barulah pendekatan manajerial yang bisa dilaksanakan antara lain berupa :
Menciptakan bahasa yang sama dan warna konsep yang muncul.
Menentukan batas-batas antar kelompok.
Distribusi wewenang dan status.
Mengembangkan syariat, tharekat dan ma’rifat yang mendukung norma kebersamaan.
Menentukan imbalan dan ganjaran
Menjelaskan perbedaan agama dan ideologi.

Selain share assumption dari Sathe, faktor value dan integrasi dari Bennet ada beberapa faktor pembentuk budaya organisasi lainnya dari hasil penelitian David Drennan selama sepuluh tahun telah ditemukan dua belas faktor pembentuk budaya organisasi /perusahaan/budaya kerja/budaya akdemis yaitu :
Pengaruh dari pimpinan /pihak yayasan yang dominan
Sejarah dan tradisi organisasi yang cukup lama.
Teknologi, produksi dan jasa
Industri dan kompetisinya/ persaingan.
Pelanggan/stakehoulder akademis
Harapan perusahaan/organisasi
Sistem informasi dan kontrol
Peraturan dan lingkungan perusahaan
Prosedur dan kebijakan
Sistem imbalan dan pengukuran
Organisasi dan sumber daya
Tujuan, nilai dan motto.



B.PERILAKU ORGANISASI

Memahami perilaku orang dalam organisasi kini dianggap penting karena perhatian manajemen seperti produktivitas karyawan, kualitas kehidupan kerja, tekanan pekerjaan, dan kemajuan karir terus menjadi berita utama,
Pandangan multidisiplin dari perilaku organisasi mengilustrasikan sejumlah poin penting. Pertama, perilaku organisasi merupakan suatu cara berpikir. Perilaku dipandang beroperasi pada tingkat individu, kelompok, dan organisasi. Pendekatan ini menyarankan bahwa ketika kita mempelajari perilaku organisasi, kita harus mengidentifikasikan dengan jelas tingkat analisis yang digunakan (individu, kelompok, atau organisasi. Kedua, perilaku organisasi adalah multidisiplin. Ini berarti bahwa ilmu ini menggunakan prinsip, model, teori, dan metode dari berbagai disiplin yang lain. Ketiga, terdapat orientasi humanistik yang tampak jelas dalam perilaku organisasi. Orang dan sikap, persepsi, kapasitas pembelajaran, perasaan, dan tujuan mereka merupakan hal yang penting bagi organisasi. Keempat, bidang perilaku organisasi berorientasi pada kinerja. Kelima, karena bidang perilaku organisasi sangat bergantung pada disiplin yang diakui, peran metode ilmiah dalam mempelajari variabel dan hubungan dianggap penting. Karena metode ilmiah digunakan dalam penelitian mengenai perilaku organisasi, serangkaian prinsip dan petunjuk mengenai apa yang membentuk penelitian yang baik telah muncul. Keenam, bidang perilaku organisasi memiliki orientasi penerapan yang jelas, bidang ini berkaitan dengan pencarian akan jawaban yang berguna bagi pertanyaan yang muncul dalam konteks pengelolaan organisasi.


1.Pengertian Perilaku Organisasi

Perilaku organisasi memiliki beberapa pengertian antara lain:
a.Perilaku organisasi adalah suatu studi yang menyangkut aspek-aspek tingkah laku manusia dalam suatu organisasi atau suatu kelompok tertentu.
b.Menurut Larry L Cummings bahwa perilaku organisasi adalah suatu cara berpikir, suatu cara untuk memahami persoalan-persoalan dan menjelaskan secara nyata hasil-hasil penemuan berikut tindakan-tindakan pemecahan.
c.Menurut Joe Kelly bahwa perilaku organisasi dapat dirumuskan sebagai suatu sistem studi dari sifat organisasi, seperti misalnya: bagaimana organisasi dimulai, tumbuh dan berkembang, dan bagaimana pengaruhnya terhadap anggota-anggota sebagai individu, kelompok-kelompok pemilih, organisasi-organisasi lainnya dan institusi-institusi yang lebih besar


Serentetan definisi tentang perilaku organisasi selalu titik awal pemberangkatannya dimulai dari perilaku manusia dan atau lebih banyak menekankan pada aspek-aspek psikologi dari tingkah laku individu.
Hal-hal lain yang kiranya bisa dipertimbangkan, seperti yang dijelaskan oleh Duncan, antara lain:
Studi perilaku organisasi termasuk di dalamnya bagian-bagian yang relevan dari semua ilmu tingkah laku yang berusaha menjelaskan tindakan-tindakan manusia di dalam organisasi.
Perilaku organisasi sebagaimana suatu disiplin mengenal bahwa individu dipengaruhi oleh bagaimana pekerjaan diatur dan siapa yang bertanggung jawab untuk pelaksanaannya.
Walaupun dikenal adanya keunikan pada individu, namun perilaku organisasi masih memusatkan pada kebutuhan manajer untuk menjamin bahwa keseluruhan pekerjaan bisa dijalankan.

Larry L Cummings memberikan suatu analisis perbedaan antara perilaku organisasi dengan disiplin lain yang erat hubungannya dengan ilmu perilaku. Menurut Cummings perbedaan yang dimaksud adalah sebagai berikut :
Perbedaan antara perilaku organisasi dengan psikologi organisasi, antara lain : psikologi organisasi membatasi konstruksi penjelasannya pada tingkat psikologi saja, akan tetapi perilaku organisasi konstruksi penjelasannya berasal dari multi disiplin. Kesamaan keduanya adalah kedua bidang tersebut menjelaskan perilaku orang-orang di dalam suatu organisasi.
Perbedaan antara perilaku organisasi dengan teori organisasi didasarkan pada dua perbedaan antaranya unit analisisnya dan pusat variabel tak bebas. Perilaku organisasi dirumuskan sebagai suatu studi dari tingkah laku individu dan kelompok di dalam suatu organisasi dan penerapan dari ilmu pengetahuan tertentu. Teori organisasi adalah studi tentang susunan, proses, dan hasil-hasil dari organisasi itu sendiri.
Perbedaan antara perilaku organisasi dengan personnel dan Human Resources adalah bahwa perilaku organisasi lebih menekankan pada orientasi konsep , sedangkan personnel dan human resources menekankan pada teknik dan teknologi.

Perilaku organisasi dapat dipahami lewat suatu penelaahan dari bagaimana organisasi itu dimulai, tumbuh, dan berkembang, dan bagaimana pula suatu struktur, proses, dan nilai dari suatu sistem tumbuh bersama-sama yang memungkinkan mereka dipelajari dan disesuaikan pada lingkungan.

2.Tujuan Perilaku Organisasi
Tujuan dari perilaku organisasi adalah untuk membantu menjelaskan, meramalkan, dan mengendalikan perilaku manusia.

a.Penjelasan

Ketika kita mencari jawaban dari mengapa seseorang atau sekelompok orang melakukan sesuatu, kita sebenarnya sedang mencari penjelasan mengenai tujuannya. Dari sudut pandang manajemen, tujuan ini dipandang kurang begitu penting dibandingkan dengan dua sasaran lainnya, karena sasaran tersebut terjadi setelah adanya fakta. Namun, jika kita ingin memahami sebuah fenomena, kita harus memulai dengan mencoba menjelaskannya. Selanjutnya, kita dapat menggunakan pemahaman ini untuk menentukan penyebabnya.

b.Prediksi

Tujuan dari melakukan prediksi adalah untuk memfokuskan diri pada kejadian di masa mendatang. Prediksi berusaha menentukan hasil apa yang akan didapatkan dari suatu tindakan tertentu. Seorang manajer sebuah dari pabrik kecil yang berusaha memperkirakan bagaimana reaksi para karyawan terhadap pemasangan peralatan robot baru, telah melakukan prediksi. Berdasarkan ilmu perilaku organisasi, manajer tersebut dapat meramalkan reaksi perilaku terhadap perubahan. Tentu saja terdapat berbagai cara untuk mengimplementasikan perubahan besar tersebut. Jadi manajer dapat memperkirakan tanggapan para karyawan terhadap beberapa intervensi perubahan. Dengan cara ini manajer dapat mengantisipasi pendekatan mana yang akan menghasilkan tingkat resistensi karyawan yang paling rendah dan menggunakan informasi ini dalam pengambilan.

c.Pengendalian

Tujuan perilaku organisasi adalah menggunakan ilmu perilaku organisasi untuk mengendalikan perilaku untuk meningkatkan efektivitas pekerjaan mereka.


III.PENUTUP

Kesimpulan

Budaya sangat berpengaruh sekali terhadap perilaku dalam sebuah organisasi. Karena budaya organisasi melibatkan ekspektasi, nilai, dan sikap bersama yang dapat memberikan pengaruh pada individu, kelompok, dan proses organisasi. Budaya organisasi juga sebagai perspektif untuk memahami perilaku individu dan kelompok dalam suatu organisasi.



DAFTAR PUSTAKA


Ndraha, Taliziduhu, Budaya Organisasi, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999

John M. Ivancevich, Robert Konopaske, Michael T. Matteson, Perilaku dan Manajemen Organisasi, Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2007

Robbins, Stephen P. Prinsip – prinsip Perilaku Organisasi, Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2002

Robbins, Stephen P. Perilaku Organisasi, Jakarta: PT Indeks, 2006

Thoha, Miftah, Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan Aplikasinya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Wahab, Abdul Azis, Anatomi organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan, Bandung:, penerbit Alfabeta, 2008

http://blok.Poltek.Malang ac.id//20090526// Budaya Organisasi

Makalah : PERFORMANCE APPRAISAL




makalah PENILAIAN PRESTASI KERJA(PERFORMANCE APPRAISAL) untuk memenuhi mata kuliah Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM)
Dosen pengampu : Drs. Eddy Kurnia, MM
Dipresentasikan Oleh : Nurdin Merza dan yatman Firmansyah


I.Pendahuluan

Penilaian kinerja merupakan bagian penting dari suatu organisasi, karena berpengaruh terhadap manajemen pengembangan sumber daya manusia. Dubrin, et. al, (1996), mengatakan bahwa penilaian kinerja memiliki 2 (dua) kepentingan yaitu kepentingan bagi karyawan dan bagi organisasi. Bagi karyawan dapat memberikan umpan balik tentang kemampuan, kekurangan-kekurangan dan potensi-potensi yang ada, yang pada gilirannya nanti dapat dikembangkan untuk meningkatkan kinerja, sedang bagi organisasi sangat penting arti dan peranannya dalam pengambilan keputusan tentang berbagai hal, seperti identifikasi kebutuhan karyawan, promosi, pemberian imbalan, dan berbagai aspek lain.
Apa yang dinilai di dalam penilaian kinerja individu karyawan berhubungan dengan apa yang ingin dicapai oleh organisasi secara keseluruhan, karena itu sebaiknya seluruh proses "performance management" (PM), mulai dari perencanaan kerja, review dan penilaian prestasi kerja karyawan dilakukan pada saat yang bersamaan di dalam seluruh bagian organisasi.
Perencanaan kerja individu pada PM umumnya dilakukan dengan mengacu pada apa yang ingin dicapai oleh organisasi (strategic atau business plan) yang ujung-ujungnya mengacu pada visi dan misi organisasi. Aktivitas ini umumnya dilakukan pada awal tahun setelah rencana kerja organisasi ditetapkan. Proses berikutnya adalah review, dimana karyawan menilai hasil kerja yang ada berdasarkan target yang telah ditetapkan pada awal tahun. Aktivitas yang terakhir adalah rewarding, dimana karyawan mendapatkan reward (bonus/kenaikan gaji/promosi/mutasi dll) berdasarkan hasil penilaian kinerja yang telah dilakukan. Kegiatan ini umumnya dilakukan pada akhir tahun. Setelah selesai, proses PM pun kembali berulang kepada proses perencanaan kerja periode berikutnya, dan seterusnya diikuti oleh proses-proses selanjutnya.


II.PEMBAHASAN

A.Pengertian
Penilaian kinerja sendiri memiliki beberapa pengertian yaitu:
1.Suatu sistem formal dan terstruktur yang mengukur, menilai, dan mempengaruhi sifat-sifat yang berkaitan dengan pekerjaan, perilaku, dan hasil, termasuk tingkat ketidakhadiran. Fokusnya adalah untuk mengetahui seberapa produktif seorang karyawan dan apakah ia bisa berkinerja sama atau lebih efektif pada masa yang akan datang, sehingga karyawan, organisasi, dan masyarakat semuanya memperoleh manfaat. (Schuler & Jackson, 1996:3)
2.Proses evaluasi prestasi atau unjuk kerja pegawai yang dilakukan oleh organisasi. Melalui kegiatan ini, para manajer atau sepervisor bisa memperoleh data tentang bagaimana pegawai bekerja.
3.Pencapaian tujuan yang telah ditetapkan merupakan salah satu tolak ukur kerja individu.
Menurut Robbins (1996) yang dikutip oleh Rivai dan Basri dalam bukunya yang berjudul performance apprasial, pada halaman 15 menyatakan bahwa ada tiga kriteria dalam melakukan penilaian kinerja individu yaitu:
a) Tugas individu
b)Perilaku individu
c)dan ciri individu

Penilaian prestasi didefinisikan sebagai suatu prosedur yang mencakup :
1.Menetapkan standar kerja;
2.Menilai prestasi kerja pegawai secara nyata dibandingkan dengan standar kerja yang telah ditetapkan;
3.Memberikan umpan balik kepada pegawai dengan tujuan untuk memotivasi pegawai agar meninggalkan prestasi yang buruk dan mempertahankan, bahkan meningkatkan prestasi yang sudah baik.

Dari beberapa pengertian kinerja di atas maka dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah suatu prestasi yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas atau pekerjaannya, sesuai dengan standar kriteria yang ditetapkan dalab pekerjaan itu. Prestasi yang dicapai ini akan menghasilkan suatu kepuasan kerja yang nantinya akan berpengaruh pada tingkat imbalan. Suatu kinerja individu dapat ditingkatkan apabila ada kesesuaian antara pekerjaan dan kemampuan. Kinerja individu sendiri dipengaruhi oleh kepuasan kerja. Kepuasan kerja itu sendiri adalah perasaan individu terhadap pekerjaannya. Perasaan ini berupa suatu hasil penilaian mengenai seberapa jauh pekerjaannya secara keseluruhan mampu memuaskan kebutuhannya. Dalam hal ini dibutuhkan suatu evaluasi, yang kemudian dikenal dengan penilaian kinerja.
Penilaian kinerja merupakan metode mengevaluasi dan menghargai kinerja yang paling umum digunakan. Dalam penilaian kinerja melibatkan komunikasi dua arah yaitu antara pengirim pesan dengan penerima pesan sehingga komunikasi dapat berjalan dengan baik. Penilaian kinerja dilakukan untuk memberi tahu karyawan apa yang diharapkan pengawas untuk membangun pemahaman yang lebih baik satu sama lain. Penilaian kinerja menitikberatkan pada penilaian sebagai suatu proses pengukuran sejauh mana kerja dari orang atau sekelompok orang dapat bermanfaat untuk mencapai tujuan yang ada.



B.Manfaat penilaian kerja

Manfaat penilaian kinerja bagi semua pihak adalah agar bagi mereka mengetahui manfaat yang dapat mereka harapkan. (Rivai & Basri, 2004:55). Pihak-pihak yang berkepentingan dalam penilaian adalah:
(1)Orang yang dinilai (karyawan)
(2)Penilai (atasan, supervisor, pimpinan, manager, konsultan) dan
(3)Perusahaan.
Gary Dessler menyebutkan beberapa alasan pentingnya penilaian prestasi kerja, yaitu :
1.Memberikan informasi untuk keputusan promosi dan gaji;
2.Memberikan peluang bagi karyawan itu sendiri dan supervisornya untuk meninjau perilaku yang berkaitan dengan pekerjaan;
3.Penilaian prestasi kerja merupakan pusat bagi proses perencanaan karier.

Sementara itu, Wenther dan Davis menyebutkan manfaat atau kegunaan penilaian prestasi kerja, seperti uraian berikut :
1.Memperbaiki prestasi kerja.
2.Untuk dapat melakukan penyesuaian kompensasi.
3.Untuk bahan pertimbangan penempatan (promosi, transfer, dan demosi)
4.Untuk menetapkan kebutuhan latihan dan pengembangan.
5.Untuk membantu perencanaan dan pengembangan karier.
6.Untuk dapat mengetahui kekurangan-kekurangan dalam proses penempatan staf (staffing process deficiencies).
7.Untuk dapat dijadikan patokan dalam menganalisis informasi analisis jabatan.
8.Untuk mendiagnosis kesalahan-kesalahan rancangan jabatan.
9.Mencegah adanya deskriminasi.

Schultz mengemukakan bahwa manfaat penilaian banyak sekali, antara lain adalah sebagai berikut :
1.Untuk meningkatkan cara perhitungan, terutama mengenai penghasilan.
2.Sebagai umpan balik untuk introspeksi dan retrospeksi perilaku kerja dan sebagai bahan pemberian konseling.
3.Sebagai bahan untuk memberikan promosi atau mutasi.
4.Sebagai bahan pertimbangan untuk menempatkan seseorang tenaga kerja tetap berada pada posisi yang itu-itu saja.
5.Sebagai bahan perencanaan keberhasilan pelaksanaan tugas lebih lanjut.
6.Untuk memudahkan seseorang dari tempat job satu ke job lainnya.
7.Untuk perencanaan tenaga kerja.
8.Untuk dasar memberikan bonus atau prestasi yang di atas normal
9.Untuk bahan lebih lanjut dalam evaluasi dan pengembangan program pelatihan
10.Sebagai wahana terciptanya komunikasi
11.Untuk bahan evaluasi validasi tes dan prosedur seleksi
12.Sebagai pengembangan kegiatan pengawasan atau sistem kendali.
13.Sebagai bahan pertimbangan dalam peningkatan dan pengembangan potensi perilaku.


(1) Manfaat bagi karyawan yang dinilai

Bagi karyawan yang dinilai, keuntungan pelaksanaan penilaian kinerja adalah :
Meningkatkan motivasi
Meningkatkan kepuasan hidup
Adanya kejelasan standard hasil yang diterapkan mereka
Umpan balik dari kinerja lalu yang kurang akurat dan konstruktif.
Pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan menjadi lebih besar
Pengembangan tantang pengetahuan dan kelemahan menjadi lebih besar, membangun kekuatan dan mengurangi kelemahan semaksimal mungkin
Adanya kesempatan untuk berkomunikasi ke atas
Peningkatan pengertian tentang nilai pribadi
Kesempatan untuk mendiskusikan permasalahan pekerjaan dan bagaimana mereka mengatasinya
Suatu pemahaman jelas dari apa yang diharapkan dan apa yang perlu untuk dilaksanakan untuk mencapai harapan tersebut
Adanya pandangan yang lebih jelas tentang konteks pekerjaan
Kesempatan untuk mendiskusikan cita-cita dan bimbingan apa pun dorongan atau pelatihan yang diperlukan untuk memenuhi cita-cita karyawan
Meningkatkan hubungan yang harmonis dan aktif dengan atasan


(2)Manfaat bagi penilai (supervisor/manager/konsultan)
Bagi penilai, manfaat pelaksanaan penilaian kinerja (Rivai&Basri, 2004 : 60) adalah;
Kesempatan untuk mengukur dan mengidentifikasikan kecenderungan kinerja karyawan untuk perbaikan manajeman selanjutnya
Kesempatan untuk mengembangkan suatu pandangan umum tentang pekerjaan individu dan departemen yang lengkap
Memberikan peluang untuk mengembangkan sistem pengawasan baik untuk pekerjaan manajer sendiri, maupun pekerjaan dari bawahannya
Identifikasi gagasan untuk peningkatan tentang nilai pribadi
Peningkatan kepuasan kerja
Pemahaman yang lebih baik terhadap karyawan, tentang rasa takut, rasa grogi, harapan, dan aspirasi mereka
Menigkatkan kepuasan kerja baik terhadap karyawan dari para manajer maupun dari para karyawan
Kesempatan untuk menjelaskan tujuan dan prioritas penilai dengan memberikan pandangan yang lebih baik terhadap bagaimana mereka dapat memberikan kontribusi yang lebih besar kepada perusahaan
Meningkatkan rasa harga diri yang kuat diantara manajer dan juga para karyawan, karena telah berhasil mendekatkan ide dari karyawan dengan ide para manajer
Sebagai media untuk mengurangi kesejangan antara sasaran individu dengan sasaran kelompok atau sasaran departemen SDM atau sasaran perusahaan
Kesempatan bagi para manajer untuk menjelaskan pada karyawan apa yang sebenarnya diingikan oleh perusahaan dari para karyawan sehingga para karyawan dapat mengukur dirinya, menempatkan dirinya, dan berjaya sesuai dengan harapan dari manajer
Sebagai media untuk menigkatkan interpersonal relationship atau hubungan antara pribadi antara karyawan dan manajer
Dapat sebagai sarana menimgkatkan motivasi karyawan dengan lebih memusatkan perhatian kepada mereka secara pribadi
Merupakan kesempatan berharga bagi manajer agar dapat menilai kembali apa yang telah dilakukan sehingga ada kemungkinan merevisi target atau menyusun prioritas kembali
Bisa mengidentifikasikan kesempatan untuk rotasi atau perubahan tugas karyawan



(3) Manfaat bagi perusahaan

Perbaikan seluruh simpul unit-unit yang ada dalam perusahaan karena :
Komunikasi menjadi lebih efektif mengenai tujuan perusahaan dan nilai budaya perusahaan
Peningkatan rasa kebersamaan dan loyalitas
Peningkatan kemampuan dan kemauan manajer untuk menggunakan keterampilan dan keahlian memimpinnya untuk memotivasi karyawan dan mengembangkan kemauan dan keterampilan karyawan
Meningkatkan pandangan secara luas menyangkut tugas yang dilakukan oleh masing-masing karyawan
Meningkatkan kualitas komunikasi
Meningkatkan motivasi karyawan secara keseluruhan
Meningkatkan keharmonisan hubungan dalam pencapaian tujuan perusahaan
Peningkatan segi pengawasan melekat dari setiap kegiatan yang dilakukan oleh setiap karyawan
Harapan dan pandangan jangka panjang dapat dikembangkan
Untuk mengenali lebih jelas pelatihan dan pengembangan yang dibutuhkan
Kemampuan menemu kenali setiap permasalahan
Sebagai sarana penyampaian pesan bahwa karyawan itu dihargai oleh perusahaan
Budaya perusahaan menjadi mapan. Setiap kelalaian dan ketidakjelasan dalam membina sistem dan prosedur dapat dihindarkan dan kebiasaan yang baik dapat diciptakan dan dipertahankan

Karyawan yang potensil dan memungkinkan untuk menjadi pimpinan perusahaan atau sedikitnya yang dapat dipromosikan menjadi lebih mudah terlihat, mudah diidentifikasikan, mudah dikembangkan lebih lanjut, dan memungkinkan peningkatan tanggung jawab secara kuat

Jika penilaian kinerja ini telah melembaga dan keuntungan yang diperoleh perusahaan menjadi lebih besar, penilaian kinerja akan menjadi salah satu sarana yang paling utama dalam meningkatkan kinerja perusahaan


C.Tujuan penilaian kinerja

Schuler dan jackson dalam bukunya yang berjudul Manajemen sumber daya manusia edisi keenam, jilid kedua pada tahun 1996 menjelaskan bahwa sebuah studi yang dilakukan akhir-akhir ini mengidentifikasi ada dua puluh macam tujuan informasi kinerja yang berbeda-beda, yang dapat dikelompokkan dalam empat macam kategori, yaitu:
1.Evaluasi yang menekankan perbandingan antar-orang
2.Pengembangan yang menekankan perubahan-perubahan dalam diri seseorang dengan berjalannya waktu
3.Pemeliharaan sistem
4.Dokumentasi keputusan-keputusan sumber daya manusia bila terjadi peningkatan.

Efektifitas dari penilaian kinerja diatas yang dikategorikan dari dua puluh macam tujuan penilaian kinerja ini tergantung dalam sasaran bisnis strategis yang ingin dicapai. Oleh sebab itu penilaian kinerja diintegrasikan dengan sasaran-sasaran strategis karena berbagai alasan (Schuler&Jackson ,1996 : 48), yaitu:
1.Mensejajarkan tugas individu dengan tujuan organisasi yaitu, menambahkan deskripsi tindakan yang harus diperlihatkan karyawan dan hasil-hasil yang harus mereka capai agar suatu strategi dapat hidup.
2.Mengukur kontribusi masing-masing unut kerja dan masing-masing karyawan
3.Evaluasi kinerja memberi kontribusi kepada tindakan dan keputusan-keputusan administratif yang mempetinggi dan mempermudah strategi
4.Penilaian kinerja dapat menimbulkan potensi untuk mengidentifikasi kebutuhan bagi strategi dan program-program baru
Tujuan utama proses penilaian prestasi kerja adalah menciptakan gambaran yang akurat tentang prestasi kerja individu. Untuk bias akurat diperlukan empat syarat, seperti di bawah ini :
1.Harus bersifat job-related.
Artinya, penilaian unjuk kerja pegawai harus berkaitan dengan proses analisis jabatan. Jika penilaiannya tidak job-related maka tidak akan valid.
2.Harus bersifat pratical.
Artinya, alat ukur yang dipakai dapat diterapkan dan dimengerti oleh penilai, juga oleh yang dinilai.
3.Harus mempunyai ukuran baku/standar.
Artinya, harus ada tolok ukur yang seragam (job performance standard).
4.Menggunakan ukuran yang dapat dipertanggungjawabkan.
Alat ukur yang mudah, reriabel (andal) dan valid, serta memberi laporan tentang unjuk kerja yang sebenarnya.

Menurut Wayne F. Cascio, tujuan digunakannya penilaian adalah sebagai berikut :
1)Sebagai dasar pemberian reward and punishment.
2)Sebagai criteria dalam riset personil.
3)Sebagai predictor.
4)Sebagai dasar untuk membantu merumuskan tujuan program training.
5)Sebagai feedback bagi karyawan itu sendiri.
6)Sebagai bahan kaji ulang bagi organisasi dan pengembangannya.


D.Metode-Metode Penilaian

Beberapa ahli mengemukakan metode-metode penilaian yang agak berbeda, namun secara garis besar antara ahli satu dengan lain memiliki banyak kesamaan.
EDWIN B. FLIPPO WERTHER & DAVIS GARY DESSLER
1. Penilaian secara kebetulan :
a. Tidak sistematis
b. Sistematis
2. Metode tradisional yang sistematis
a. Rangking
b. Person to person comparison
c. Grading
d. Graphic scale
e. Checlist
f. Forced-choice description
g. Behaviorally anchored rating scale :
a) Expectation scale (BES)
b) Observation scale (BOS)
h. Uraian
3. Manajemen berdasarkan sasaran (MBO)
1. Past oriented appraisal method :
a. Rating scale
b. Checklist
c. Forced choice method
d. Critical incident method
e. Behaviorally anchored rating scales (BARS)
f. Field review method
g. Performance tests and observations
2. Comparative evaluation approaches:
a. Ranking method
b. Forced distribution
c. Point allocation method
d. Paired comparison
3. Future oriented appraisals :
a. Self appraisal
b. MBO Approach
c. Psychological appraisals
d. Assessment centre technique 1. Graphic rating scale method
2. Alternation Ranking Method
3. Paired Comparison Method
4. Forced Distribution Method
5. Critical Incident Method
6. Narrative Forms
7. Behaviorally Anchored Rating Scales (BARS)
8. MBO Approach

Munandar mengemukakan bahwa teknik/metode penilaian dapat dikelompokkan menjadi tiga , yaitu :
1)Teknik penilaian yang nisbi atau relative, untuk itu perlu saling membandingkan hasil-hasil penilaian baik secara kelompok, perorangan atau secara pasangan;
2)Teknik penilaian yang absolut atas tenaga kerja yang satu dengan tenaga kerja lainnya; dan
3)Teknik yang berorientasi pada keluaran atau produktivitas yang dihasilkan.


E.Masalah-masalah dalam Penilaian Prestasi


Masalah utama yang sering dijumpai dalam penilaian prestasi adalah standar yang tidak jelas dan bias (gangguan yang menyebabkan suatu pengukuran menjadi tidak akurat).
Standar yang tidak jelas, sering kali berkaitan dengan skala penilaian yang terlalu terbuka untuk diinterpretasikan, sedangkan bias dalam penilaian prestasi dapat dibedakan menjadi halo effect, central tendency, lenience and strictness biases, personal prejudice, dan recency effect.
Kelemahan-kelemahan atau kesalahan-kesalahan dalam penilaian sebagaimana dikemukakan oleh G. Dessler adalah :
1)Penetapan standar performance yang tidak jelas.
2)Adanya kesan pertama atau hallow effect.
3)Adanya kecenderungan untuk tidak ekstrim, baik ke bawah atau ke atas, baik rendah atau tinggi, serta kecenderungan untuk memberikan sesuatu yang sedang-sedang saja.
4)Adanya kecenderungan untuk menghindari angka yang loncat-loncat, misalnya dari 2 naik ke 5 atau menjadi 9 dan sebagainya.

Ada sedikitnya tiga cara untuk meminimalkan pengaruh masalah-masalah penilaian, seperti di bawah ini :
b)Yakin terbiasa dengan masalah-masalah penilaian yang telah didiskusikan. Memahami masalah dapat membantu kita menghindari masalah tersebut.
c)Pilih alat penilaian yang tepat.
d)Latih supervisor untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan penilaian seperti halo effect, leniency, dan lain-lain. Latihan untuk penilai menyangkut tiga hal, yaitu :
1)Bias dan penyebabnya harus dijelaskan
2)Peranan penilaian prestasi kerja harus diterangkan dan dijelaskan bahwa hal tersebut ditujukan untuk hal-hal yang objektif
3)Penilai harus diberi kesempatan untuk mempraktekkan dalam bentuk latihan bagaimana menilai seorang pegawai.
Penilaian prestasi kerja pegawai hendaknya dilakukan oleh :
1.Atasan langsung
2.Sesama rekan kerja
3.Komite atau panitia penilai
4.Penilaian sendiri
5.Bawahan


F.Aspek-aspek yang mempengaruhi Penilaian


Aspek-aspek yang dimaksud adalah motivasi penilai, kemampuan penilaian serta ketersediaan standar penilaian.
1.Motivasi penilai. Aspek ini mempengaruhi hasil penilaian karya tenaga kerja dalam hal-hal berikut :
a)Motivasi penilai pada umumnya menjadi lebih tinggi bila tujuan penilaian adalah untuk penelitian kepegawaian daripada bila tujuan penilaian untuk mengembangkan karyawan atau pengaturan ganjaran-ganjaran.
b)Motivasi penilai lebih tinggi bila tujuan penilai adalah mengembangkan tenaga Kerja daripada bila tujuannya adalah penelitian untuk mengatur ganjaran-ganjaran.
c)Apapun tujuannya, motivasi penilai akan lebih tinggi bila hasil-hasil penilaian dirahasiakan terhadap orang yang dinilai.
d)Bila tujuan penilaian untuk pengembangan karyawan ataupun pengaturan ganjaran-ganjaran keorganisasian maka motivasi penilaian akan lebih tinggi bila penilai menganggap umpan balik sebagai suatu aspek sah dari perannya.
e)Bila umpan balik hasil-hasil penilaian diperlukan maka motivasi penilaian akan lebih tinggi.
f)Semakin mudah instrument penilaian dimengerti oleh yang dinilai semakin besar kemungkinan para penilai menganggap sesuai untuk tujuan mereka.
g)Instrumen penilaian yang didasarkan pada informasi kerja yang mudah dimengerti dan dirasakan untuk tujuan penelitian akan meningkatkan motivasi penilai dalam memberikan nilai-nilai yang obyektif.
2.Kemampuan penilai. Aspek-aspek ini berpengaruh terhadap hal-hal sebagai berikut :
a)Semakin banyak peluang penilai untuk mengamati perilaku kerja yang dinilai, semakin tinggi kemampuan penilai memberikan nilai-nilai yang tepat dan akurat.
b)Semakin tepat perilaku yang diamati oleh penilai, maka semakin tinggi kemampuan penilai dalam memberikan penilaian yang obyektif.
c)Semakin dekat jenjang keorganisasian penilai dengan yang di nilai, semakin tinggi kemampuan penilai untuk memberikan penilaian yang baik.
d)Kemampuan penilai akan lebih tinggi bila ia mengerti antara perilaku kerja orang lain yang diamati dari pada bila ia tidak mengerti kaitan itu.
e)Kemampuan penilai akan lebih tinggi bila gaya pribadi penilai menekankan pada pencapaian tujuan bagi orang yang dinilai dari pada menganggap mereka yang di nilai sebagai individu-individu.
f)Kemampuan penilai akan lebih tinggi bila ia terlatih dalam prinsip-prinsip dan masalah-masalah penilaian tenaga kerja daripada yang tidak terlatih.
3.Standar penilaian. Aspek ini berpengaruh terhadap hal-hala sebagai berikut.
a)Semakin sesuai konteks pekerjaan dan standar penilaian yang digunakan oleh penilai, semakin akurat hasil penilaian yang diperoleh.
b)Semakin beragam pola perilaku kerja orang yang dinilai tercakup dalam standar penilaian, maka penilaian akan semakin tepat.
c)Semakin sesuai isi penilaian dengan isi pekerjaan, maka akan dihasilkan penilaian yang lebih memadai
d)Semakin sesuai metode penilaian dengan falsafah organisasi yang dominan, maka semakin besar kemungkinan penilaian yang baik.
e)Semakin diharuskan bertanggung jawab atas penilaiannya, semakin baik penilaian yang dihasilkan.


III. Penutup



Kesimpulan


Penilaian kinerja merupakan proses dimana organisasi mengukur dan mengevaluasi kinerja karyawan pada periode waktu tertentu, dengan didasarkan standar kinerja yang telah disepakati, penilaian dilakukan oleh penilai yang terlatih, menghindari adanya diskriminasi, obyektif, dan harus memenuhi kriteria validitas dan reliabilitas. Penilaian kinerja tersebut mutlak perlu dilakukan setiap organisasi, karena bermanfaat baik bagi para karyawan maupun bagi organisasi itu sendiri.
Penilaian kinerja memberikan banyak manfaat bagi semua pihak adalah agar bagi mereka mengetahui manfaat yang dapat mereka harapkan. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam penilaian adalah:

Orang yang dinilai (karyawan)
Penilai (atasan, supervisor, pimpinan, manager, konsultan) dan
Perusahaan.


DAFTAR PUSTAKA

Asnawi, Sahlan, Dr., Aplikasi Psikologi dalam Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan, Jakarta : Pusgrafin, 1999.
T. Sirait, Jastine, Dra., MBA-T, Memahami Aspek-aspek Pengelolaan Sumber Daya Manusia dalam Organisasi, Jakarta : PT. Grasindo, 2006.
http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/04/penilaian-kinerja-karyawan-definisi.html