Rabu, 10 Februari 2010

Makalah : Etos Kerja


Mata kuliah semester III : PSDM
Dosen pengampu : Drs. Eddy Kurnia, MM
Dipresentasikan oleh : Drs. Sudayat



PENDAHULUAN

Bagi seorang muslim, makna bekerja berarti niat yang kuat untuk mewujudkan hasil kerja yang optimal atau outstanding performance, bukan hanya memberikan nilai rata-rata. Ada semacam “nyala api dalam dirinya (burning in his heart)” yang terus mengetuk-ngetuk dirinya seraya menyuarakan sebuah bisikan, “sungguh tidak pantas bagi seorang wakil Allah hanya bekerja asal-asalan, apalagi terpuruk dalam kemalasan dan kebodohan.”
Betapa besarnya penghargaan Islam terhadap makna bekerja ini, sehingga setiap pekerjaan yang diberikan makna atau niat yang luhur akan memuliakan pelakunya di hadapan Allah Swt. Dengan cara pandang seperti ini, setiap manusia tidaklah akan bekerja sekadar untuk bekerja, asal mendapat gaji, dapat surat pengangkatan, atau sekadar menjaga gengsi supaya tidak disebut sebagai penganggur. Hal ini karena kesadaran bekerja secara produktif serta dilandasi semangat tauhid dan tanggung jawab uluhiyah merupakan salah satu cirri yang khas dari karakter atau kepribadian seorang muslim.
Dalam salah satu riwayat, Rasulullah Saw menegaskan, “tangan di atas lebih mulia dari pada tangan di bawah,” seakan-akan menghantui dirinya, menggedor dan menggapai-gapai untuk selalu tampil sebagai subjek yang terbaik. Dia akan merasa nista apabila dalam hidupnya tak mampu memberikan makna pada lingkungannya, bahkan dia tak merasa berharga apabila harus hidup sebagai benalu yang hidupnya statis apalagi harus menjadi peminta-minta. Akan tetapi alangkah tersayatnya jiwa kita setiap menyaksikan begitu banyak orang yang menempatkan dirinya menjadi “tangan yang di bawah”.
Bahkan, sudah menjadi pemandangan umum, bila kita berjalan, kita akan menyaksikan panorama pemandangan di mana hampir di setiap perempatan atau pemberhetian lampu merah, kita menyaksikan orang-orang yang mengulurkan tangan meminta-minta sedekah, bahkan mencegat para pengemudi dengan kursi atau tong sampah dengan tidak lupa tulisan “untuk pembangunan masjid” dan diiringi oleh lagu kasidah atau pidato dai kondang yang disetel lewat tape recorder berulang-ulang. Hal ini tentu sah-sah saja, halal, tapi apakah thayyibah? Persyaratan sebuah kegiatan tidak hanya melulu benar secara syariat, tetapi juga kita harus menimbangnya dari segi nilai etika.

MEMBANGUN ETOS KERJA ISLAMI

A. Pengertian Etos Kerja
Secara etimologis, etos berasal dari bahasa Yunani (ethos) yang artinya sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Sedangkan etos kerja diartikan semangat kerja yang mejadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok. Etos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh budaya, serta sistem nilai yang diyakininya. Dari kata etos ini, dikenal pula kata etika, etiket, yang hampir mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkenaan dengan baik-buruk (moral), sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuatu secara optimal, lebih baik, dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin.
Dalam etos tersebut, ada semacam semangat untuk menyempurnakan segala sesuatu dan menghindari segala kerusakan (fasad) sehingga setiap pekerjaannya diarahkan untuk mengurangi bahkan menghilangkan sama sekali cacat dari hasil pekerjaannya. Sikap seperti ini dikenal dengan ihsan, sebagaimana Allah menciptakan manusia dalam bentuknya yang paling sempurna (fi ahsani taqwim). Senada dengan ihsan, dalam Al-Qur’an ditemukan pula kata itqan yang berarti proses pekerjaan yang sangat bersungguh-sungguh, akurat dan sempurana.
Firman Allah:
Artinya: “Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. An-Naml : 88)
Dari ayat tersebut mengandung pengertian bahwa seseorang muslim yang memiliki kepribadian qur’ani pastilah akan menunjukkan etos kerja yang bersikap dan berbuat serta menghasilkan segala sesuatu secara sangat bersungguh-sungguh dan tidak pernah mengerjakan sesuatu setengah hati. Dengan etos kerja yang bersumber dari keyakinan qur’ani ada semacam keterpanggilan yang sangat kuat dari lubuk hatinya. Apakah pantas seorang khalifah menunjukkan hasil kerja yang tidak berkualitas? Bila Allah telah berbuat ihsan, mengapa kita tidak mengikutinya untuk berbuat ihsan juga? Sebagaimana firman-Nya:
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”(QS. Al-Qashash: 77).
Etos yang juga mempunyai makna nilai moral adalah suatu pandangan batin yang bersifat mendarah-daging. Dan merasakan bahwa hanya dengan menghasilkan pekerjaan yang terbaik, bahkan sempurna, nilai-nilai Islam yang diyakininya dapat diwujudkan. Karenanya, etos bukan sekadar kepribadian atau sikap, melainkan lebih mendalam lagi, dia adalah martabat, harga diri dan jati diri seseorang.
Etos menunjukkan pula sikap dan harapan seseorang (raja’). Imam Al-Qusairi mengartikan harapan sebagai keterpautan hati kepada yang diinginkannya terjadi di masa yang akan datang. Perbedaan antara harapan dengan angan-angan (tamanni) adalah bahwasanya angan-angan membuat seseorang menjadi pemalas dan terbuai oleh khayalannya tanpa mau mewujudkannya.


B. Ciri-ciri Etos Kerja Islami
Budaya kerja Islami bertumpu pada akhlakul karimah, umat Islam akan menjadikan akhlak sebagai energi batin yang terus menyala dan mendorong setiap langkah kehidupannya dalam koridor jalan yang lurus. Ciri-ciri orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja akan tampak dalam sikap dan tingkah lakunya yang dilandaskan pada suatu keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu adalah ibadah. Ada semacam panggilan dari hatinya untuk terus-menerus memperbaiki diri, mencari prestasi dan tampil sebagai bagian dari umat yang terbaik (khairu ummah).
Adapun ciri-ciri etos kerja muslim adalah sebagai berikut:
1. Menghargai Waktu
Salah satu esensi dan hakikat dari etos kerja adalah cara seseorang menghayati, memahami, dan merasakan betapa berharganya waktu. Satu detik saja berlalu tidak mungkin dia kembali. Waktu merupakan deposito paling berharga yang dianugerahkan oleh Allah Swt secara gratis dan merata kepada setiap orang. Apakah dia orang kaya atau miskin, penjahat atau orang alim. Semua dapat jatah waktu sama, 24 jam atau 1.440 menit atau sama dengan 86.400 detik setiap hari. Tergantung kepada masing-masing manusia bagaimana dia memanfaatkan waktunya.
Salah satu ciri orang modrn adalah mereka yang menyikapi waktu dengan sangat bersung-sungguh. Mesin waktu yang melingkari lengan (jam tangan) bukan sekedar gengsi, melainkan benar-benar menunjukkan fungsi. Bahkan, tidak berlebihan bila saya katakan bahwa orang modern adalah orang yang telah dibentuk oleh sang waktu. Seorang muslim bagaikan kecanduan waktu. Dia tidak mau ada waktu yang hilang dan terbuang tanpa makna. Baginya, waktu adalah asset ilahiah yang sangat berharga, adalah ladang subur yang membutuhkan ilmu dan amal untuk diolah serta dipetik hasilnya pada waktu yang lain. Waktu adalah kekuatan. Mereka yang mengabaikan waktu berarti menjadi budak kelemahan. Bila kita memanfaatkan seluruh waktu, kita sedang berada di jalan keberuntungan.
2. Bekerja dengan Ikhlas.
Salah satu kompetensi moral yang dimiliki seorang yang berbudaya kerja Islami itu adalah nilai keikhlasan. Ikhlas mempunyai arti: bersih, murni (tidak terkontaminasi), sebagai antonim dari syirik (tercampur). Kata ikhlas dapat disejajarkan dengan sincere (bahasa Latin sincerus: pure) yang berarti suasana atau ungkapan tentang apa yang benar yang keluar dari hati nuraninya yang paling dalam.
Seorang muslim takut bahwa sesuatu pekerjaan yang dilatarbelakangi motivasi atau pamrih selain melaksanakan amanah, walaupun atas nama “ikhlas dan cinta”, akan berubah menjadi komoditas semata-mata. Keikhlasan hanya menjadi label atau simbul dari pengesahan dirinya untuk berbuat munafik.
Mukhlis adalah mereka yang memandang tugasnya sebagai pengabdian, sebuah keterpanggilan untuk menunaikan tugas-tugas sebagai salah satu bentuk amanah yang seharusnya demikian mereka lakukan. Seorang pelayan publik berbuat sesuatu karena memang demikianlah uraian tugas yang diterima. Karenanya, mereka menjadi manusia yang bebas untuk memenuhi tugasnya tanpa beban atau motivasi lain yang akan menodai kemurnian pandangannya terhadap tugas tersebut.
3. Selalu Jujur
Imam al-Qusairi mengatakan bahwa kata shadiq (orang jujur) berasal dari kata shidq (kejujuran). Kata shiddiq adalah bentuk penekanan (mubalaghah) dari shadiq dan berarti orang yang didominasi kejujuran.
Dengan demikian, di dalam jiwa seorang yang jujur itu terdapat komponen nilai ruhani yang memantulkan berbagai sikap yang berpihak kepada kebenaran dan sikap moral yang terpuji (morally upright). Dirinya telah dibelenggu, dikuasai, dan diperbudak oleh kejujuran. Dia merasa bangga menjadi budaknya Allah (‘abdullah). Dia merasa merdeka karena terpenjara oleh kejujuran. Tindakan yang menyimpang dari nilai ruhani kejujurannya itu berarti dia telah mengkhianati diri dan keyakinannya sendiri. Orang yang tidak jujur berarti menipu dirinya sendiri di hadapan Allah Swt.
Kejujuran adalah kunci surga. “Jauhi dusta karena dusta akan membawa kepada dosa dan dosa membawamu ke neraka. Biasakanlah berkata jujur Karena jujur akan membawamu kepada kebajikan dan membawamu ke surga”, demikian sabda Rasulullah Saw.
Budaya kerja Islami sangat mendorong untuk melahirkan seorang yang professional sekaligus memiliki integritas yang tinggi. Integritas (dari bahasa Latin: integrer, incorruptibility, firm adherence to a code of especially moral or artistic values). Dalam hal ini, Stephen R. Covey membedakan antara kejujuran dan integritas. “Honesty is telling the truth, in order word, conforming our words to reality. Integrity is conforming to our words, in other words, keeping promises and fulfilling expectations.”
Kisdarto menyatakan, “Tidak jujur dan kata-katanya tidak bisa dipegang berarti tidak bisa dipercaya. Jujur tetapi tidak mempunyai integritas berarti tidak bisa diandalkan. Mempunyai integritas, tetapi tidak jujur berarti diragukan itikadnya. Tetapi jujur dan mempunyai integritas menjadikan dirinya sebagi panutan.”
4. Memiliki Komitmen
Yang dimaksud dengan commitment (dari bahasa Latin: committere, to connect, entrust—the state of being obligated or emotionally impelled) adalah keyakinan yang mengikat (aqad) sedemikian kukuhnya sehingga membelenggu seluruh hati nuraninya dan kemudian menggerakkan perilaku menuju arah tertentu yang diyakininya (i’tiqad).
Penelitian menunjukkan bahwa pegawai yang memiliki komitmen tinggi kepada perusahaan merupakan orang yang paling rendah tingkat stresnya dan dilaporkan bahwa mereka yang berkomitmen itu merupakan orang yang paling merasakan kepuasan dari pekerjaannya itu.
Daniel Goldman dalam bukunya “Working with Emotional Intellegence”, melaporkan hasil penelitiannya, “Orang yang berkomitmen adalah para warga perusahaan teladan. Mereka berusaha menempuh perjalanan lebih panjang. Seperti kerikil yang dilontarkan ke tengah kolam, karyawan yang berkomitmen tersebut menyebarkan riak-riak perasaan kebahagiannya ke seluruh lingkungan perasaan. Komitmennya yang sangat tinggi memungkinkan dirinya berjuang keras menghadapi tantangan dan tekanan yang bagi orang yang tidak memiliki komitmen dirasakannya sebagai beban berat dan menimbulkan stres.
Goldman mengidentifikasikan ciri-ciri orang yang berkomitmen antara lain sebagai berikut:
a. Siap berkorban demi pemenuhan sasaran perusahaan yang lebih penting.
b. Merasakan dorongan semangat dalam misi yang lebih besar.
c. Menggunakan nilai-nilai kelompok dalam pengambilan keputusan dan penjabaran pilihan-pilihan.
5. Istiqamah (Konsisten)
Pribadi muslim yang professional dan berakhlak memiliki sikap konsisten (dari bahasa Latin consistere; harmony of conduct or practice with proffesion; ability to be asserted together without contradiction), yaitu kemampuan untuk bersikap secara taat asas, pantang menyerah, dan mampu mempertahankan prinsip serta komitmennya walau harus berhadapan dengan risiko yang membahayakan dirinya. Mereka mampu mengendalikan diri dan mengelola emosinya secara efektif. Tetapi teguh pada komitmen, positif, dan tidak rapuh kendati berhadapan dengan situasi yang menekan. Sikap konsisten telah melahirkan kepercayaan diri yang kuat dan memiliki integritas serta mampu mengelola stres dengan tetap penuh gairah.
6. Menegakkan Disiplin
Disiplin yaitu kemampuan untuk mengendalikan diri dengan tenang dan tetap taat walaupun dalam situasi yang sangat menekan. Pribadi yang berdisiplin sangat berhati-hati dalam mengelola pekerjaan serta penuh tanggung jawab memenuhi kewajibannya. Mata hati dan profesinya terarah pada hasil yang akan diraih (achievements) sehingga mampu menyesuaikan diri dalam situasi yang menantang.
Disiplin adalah masalah kebiasaan. Setiap tindakan yang berulang pada waktu dan tempat yang sama. Kebiasaan positif yang harus dipupuk dan terus ditingkatkan dari waktu ke waktu. Disiplin yang sejati tidak dibentuk dalam waktu satu-dua tahun, tetapi merupakan bentukan kebiasaan sejak kita kecil, kemudian perilaku tersebut dipertahankan pada waktu remaja dan dihayati maknanya di waktu dewasa dan dipetik hasilnya.
Kedisiplinan adalah fungsi operatif dari manajemen sumber daya manusia yang terpenting, karena semakin disiplin karyawan, semakin tinggi prestasi kerja yang dapat dicapainya. Tanpa disiplin karyawan yang baik, sulit bagi organisasi perusahaan mencapai hasil yang optimal.
Adapun indikator kedisiplinan, antara lain : tujuan dan kemampuan, teladan pimpinan, balas jasa, keadilan, waskat, sanksi hukuman, ketegasan dan hubungan kemanusiaan.
7. Percaya Diri
Pribadi muslim yang percaya diri tampil bagaikan lampu yang benderang, memancarkan raut wajah yang cerah dan berkharisma. Orang yang berada di sekitarnya merasa tercerahkan, optimis, tenteram dan muthmainnah. Penelitian Boyatzis membuktikan bahwa para penyelia, manajer, dan eksekutif yang percaya diri lebih berprestasi dari orang yang biasa-biasa saja.
Percaya diri melahirkan kekuatan, keberanian, dan tegas dalam bersikap. Berani mengambil keputusan yang sulit walaupun harus membawa konsekuensi berupa tantangan dan penolakan.
8. Kreatif
Pribadi muslim yang kreatif selalu ingin mencoba metode atau gagasan baru sehingga diharapkannya hasil kerja dapat dilaksanakan secara efisien, tetapi efektif. Seorang yang kreatif pun bekerja dengan informasi, data, dan mengolahnya sedemikian rupa sehingga memberikan hasil atau manfaat yang besar. Hidup bagaikan kanvas lukisan yang mendorong dan memanggil nuraninya untuk melukiskan gambar-gambar yang paling indah. Setiap hari adalah sebuah kegairahan untuk menjadikan dirinya memetik manfaat.
Goldman merangkum ciri-ciri orang yang kreatif memiliki beberapa ciri penting antara lain sebagai berikut:
a. Kuatnya motivasi untuk berprestasi: sangat bergairah untuk meningkatkan dan memenuhi standar keunggulan, menetapkan sasaran yang menantang dan berani mengambil risiko yang diperhitungkan, mencari informasi sebanyak-banyaknya guna mengurangi ketidakpastian dan mencari jalan yang terbaik, tekun belajar untuk meningkatkan kinerja mereka.
b. Komitmen: setia kepada visi dan sasaran perusahaan atau kelompok.
c. Inisiatif dan optimisme: kedua kecakapan kembar yang menggerakkan orang untuk menangkap peluang dan membuat mereka menerima kegagalan dan rintangan sebagai awal keberhasilan. Orang dengan kecakapan kembar seperti ini mempunyai kekuatan berinisiatif, siap memanfaatkan peluang mengejar sasaran lebih dari pada yang dipersyaratkan, senang mengajak orang lain melakukan sesuatu yang tidak lazim dan bernuansa penuh tantangan.
Mereka yang optimis menunjukkan sikap yang tekun dalam mengejar sasaran kendati banyak halangan. Bekerja dengan harapan untuk sukses, bukannya takut gagal. Memandang kegagalan atau kemunduran sebagai kendala yang dapat dikendalikan ketimbang sebagai kekurangan pribadi.
9. Bertanggung Jawab
Tanggung jawab sama dengan menanggung dan memberi jawaban, sebagimana di dalam bahasa Inggris, responsibility = able to response. Dengan demikian, pengertian takwa yang kita tafsirkan sebagai tindakan bertanggung jawab, ternyata lebih mendalam dari responsibility, dapat didefinikan sebagai sikap dan tindakan seseorang di dalam menerima sesuatu sebagai amanah; dengan penuh rasa cinta, dan ingin menunaikannya dalam bentuk pilihan-pilihan yang melahirkan amal prestatif.
Amanah adalah titipan yang menjadi tanggungan, bentuk kewajiban atau utang yang harus kita bayar dengan cara melunasinya sehingga kita merasa aman atau terbebas dari segala tuntutan. Harta, jabatan, bahkan hidup itu sendiri harus kita persepsi sebagai amanah karena di dalamnya ada muatan tanggung jawab untuk meningkatkan dan mengembangkannya lebih baik lagi.
Stephen R. Covey mengakui bahwa hati nurani harus senantiasa dilatih secara sungguh-sungguh dengan cara, “Membaca dan merenungkan literatur tentang kebijaksanaan, mengamati pengalaman orang lain, meluangkan waktu untuk tenang, dan mendengarkan suara kedalaman batin kita dan menanggapi suara tersebut. Tidaklah cukup hanya mendengarkan hati nurani, kita juga harus menanggapinya”.
Seorang muslim harus mempersepsi pekerjaannya sebagai amanah yang harus ditunaikan dengan penuh kesungguhan, yang kemudian melahirkan keyakinan yang mendalam bahwa:
Bekerja itu ibadah dan berprestasi itu indah. Sikap amanah sangat erat kaitannya dengan cara dirinya mempertahankan prinsip dan kemudian bertanggung jawab untuk melaksanakan prinsip-prinsipnya tersebut dengan tetap menjaga keseimbangan dan melahirkan nilai manfaat yang berkesesuaian (saleh). Prinsip merupakan fitrah paling mendasar bagi harga diri manusia. Menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya merupakan ciri seorang profesional.
10. Service Excellence
Melayani atau menolong seseorang merupakan bentuk kesadaran dan keperduliannya terhadap nilai kemanusiaan. Memberi pelayanan dan pertolongan merupakan investasi yang kelak akan dipetik keuntungannya, tidak hanya di akhirat, tetapi di dunia pun mereka sudah merasakannya.
Rasulullah Saw telah memberikan contoh dalam pelayanan dan betapa besar perhatian beliau terhadap manusia, bahkan makhluk lainnya. Dimuliakannya tamu yang datang kepadanya. Bila berjalan bersama dengan orang yang lemah, beliau mengiringkannya di belakang seraya mendoakannya.
Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan Abu Ya’la, al-Hakim, dan ath-Thabrani bahwa Sahal bin Hanif r.a. berkata, “Rasulullah mengunjungi orang-orang muslim yang lemah, menjenguk mereka yang sakit, dan mengantarkan jenazah-jenazah mereka.”
Beliau merasakan amanahnya sebagai rasul Allah, bukan sebagi raja atau pemimpin yang memiliki jarak dengan rakyatnya, melainkan beliau memandang amanahnya dalam bentuk tindakan pelayanan. Pemimpin itu adalah pelayan umat. Beliau memberikan keteladanan kepada kita tentang artinya pemimpin sebagai orang yang sangat besar perhatiannya kepada orang lain, bahkan tidak ingin dirinya menjadi beban. Inilah bentuk kepemimpinan modern yang telah dicontohkan Rasulullah kepada umat Islam. Sebuah gaya kepemimpinan yang melayani, kepemimpinan berdasarkan keteladanan, dan bahkan kepemimpinan yang berpusatkan pada nilai ruhaniah (spiritual leadership).
Seseorang yang amanah adalah orang-orang yang menjadikan dirinya sibuk untuk memberikan pelayanan. Mereka merasa bahagia dan memiliki makna apabila hidupnya dipenuhi dengan pelayanan. Mereka menerjemahkan SERVICE bukan hanya sekedar sebuah kata, melainkan memiliki makna yang berdimensi luas sebagaimana diuraikan berikut ini:
S – Self Awarness and self esteem, menanamkan kesadaran diri bahwa melayani merupakan bagian dari misi seorang muslim dan karenanya harus selalu menjaga self esteem (martabat) diri sendiri dan orang lain. Dalam pelayanan, harus ada semacam kesadaran diri yang sangat kuat bahwa dia ada karena dia melayani. Dia mempunyai harga karena mampu memberikan makna melalui pelayanan tersebut.
E – Empathy and Enthusiasm, lakukanlah empati dan layanilah dengan penuh gairah. Sikap yang penuh antusias akan memberikan efek batin bagi diri dan orang lain yang kita layani. Anda tidak pernah memiliki empati kecuali mampu memandang orang lain sebagai aset Ilahiah yang paling indah, meyakini bahwa pada setiap individu tersebut ada mutiara-mutiara ilmu dan pengalaman yang sungguh sangat berharga. Betapapun kedudukan orang tersebut, Anda bisa belajar darinya. Manusia adalah kampus kehidupan, kumpulan dari kitab pengalaman yang tidak diperoleh dari pengalaman seseorang di bangku sekolah atau kuliah.
R – Reform and Recover, berusaha untuk lebih baik dan lebih baik lagi, dan selalu memperbaiki dengan cepat setiap ada keluhan atau sesuatu yang bisa merusak pelayanan Anda.
V – Victory and Vision, melayani berarti ingin merebut hati dan membawa misi untuk membangun kebahagiaan dan kemenangan bersama (win-win). Dalam sikap melayani, kita harus memiliki pandangan ke depan untuk melakukan perbaikan dan peningkatan mutu.
I – Impressive and Improvement, berikanlah pelayanan yang mengesankan dan berusahalah selalu untuk meningkatkan perbaikan pelayanan. Rasulullah adalah orang yang selalu menampilkan kepribadian yang sangat menawan dan berkesan bagi siapa pun yang menjumpai beliau sehingga beliau senantiasa menjadi kerinduan bagi umatnya. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Umamah r.a. bahwa ia berkata, “Saya belum pernah melihat seseorang yang lebih banyak senyumnya dari pada Rasulullah Saw.” Dalam hal berkata-kata, beliau bahkan tidak pernah meninggalkan senyum di raut wajahnya, “Rasulullah itu tidak bertutur kata melainkan selalu tersenyum.” (HR Ahmad dari Abud-Darda r.a.).
C – Care, Cooperativeness, and Communication, tunjukkan perhatian yang sangat mendalam dan kembangkanlah nilai-nilai yang mampu membuka kerja sama. Jalinlah komunikasi sebagai jembatan emas untuk menumbuhkan sinergi dan keterbukaan.
E – Evaluation and Empowerment, lakukanlah penilaian, perenungan, dan upayakanlah selalu untuk memberdayakan seluruh aset yang ada. Pribadi muslim yang seharusnya profesional dan berakhlak itu akan menjadikan setiap geraknya adalah pelayanan yang berkualitas sehingga orang yang ada di sekitarnya merasakan kedamaian.

C. Manajemen Kerja
1. Serikat Pekerja
Menurut Samuel Gompers, yang dimaksud dengan serikat pekerja adalah sistem-sistem sosial yang terbuka yang mengejar tujuan dan dipengaruhi oleh lingkungan luar. Serikat pekerja merupakan wadah bagi karyawan sebagai wahana untuk berpartisipasi dalam perusahaan. Partisipasi karyawan dalam hubungan industrialisasi dapat dilakukan secara langsung dan atau melalui sistem perwakilan dalam bentuk serikat kerja. Partisipasi karyawan dalam hubungan industrial merupakan perwujudan hak dan kebebasan karyawan berorganisasi dan mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh konstitusi dan undang-undang.

2. Hubungan Kerja
Hubungan kerja dalam manajemen sumber daya manusia mempunyai tujuan untuk membicarakan kepentingan-kepentingan organisasi dan para pegawai atau tenaga kerja yang ada dalam organisasinya, agar dapat berhasil sesuai dengan tujuan dan sasaran organisasi. Mekanisme kerja dan hubungan kerja yang dilakukan, apa pun bentuknya dalam mencapai tujuan organisasi, ada saja yang tidak sesuai dengan rencana.
Untuk mengatasi hubungan kerja yang menimbulkan perselisihan diperlukan cara-cara yang tepat untuk memecahkan permasalahan, teruatama yang berhubungan dengan orang-orang yang tidak disiplin atau orang yang tidak sesuai dengan perkembangan tuntutan organisasi. Orang yang tidak sesuai dengan pekerjaan atau orang-orang yang terlibat dalam perselisihan hubungan kerja. Sehingga kita diperlukan pendekatan-pendekatan khusus untuk menangani hal-hal yang berhubungan dengan:
a. Permasalahan disiplin kerja;
b. Perselisihan dalam hubungan kerja;
c. Adanya kelebihan pegawai dan pengurangan pegawai.

3. Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Manajemen sumber daya manusia yang mempunyai tinjauan wawasan masa depan harus mempunyai program masukan sistem kesehatan dan keselamatan kerja bagi pegawai dalam organisasi.
Sebagai dasar untuk program kesehatan dan keselamatan kerja ini mencakup prinsip-prinsip dan fenomena sebagai berikut:
a. Memperhitungkan kemungkinan penyakit dan kecelakaan kerja, yang diakibatkan oleh beberapa faktor, dan faktor tersebut harus dicari dalam sistem manajemen antara lain kepemimpinan yang buruk, pengawasan yang kurang, sistem pendekatan kurang sistematis, dan lain sebagainya.
b. Bahaya potensial dalam program kesehatan dan keselamatan kerja, merupakan faktor determinan, yaitu adanya pengenalan bahaya yang potensial kepada para pekerja.

4. Strategi Kesehatan Kerja
Strategi kesehatan kerja sangat berhubungan erat dengan pengenalan dan pengendalian bahaya-bahaya kesehatan yang ditimbulkan oleh kelahan, tekanan batin (stress) kebisingan, radiasi maupun zat-zat beracun lainnya terhadap kondisi fisik manusia, pikiran, dan sikap tingkah laku para pegawai.
Pendekatan yang perlu dilakukan dalam strategi kesehatan ini mencakup langkah-langkah:
a. Mengenal zat-zat, keadaan atau proses yang benar-benar atau mempunyai potensi yang membahayakan para pekerja;
b. Mengadakan evaluasi bagaimana bahaya itu bisa timbul dengan mempelajari sifat dan sesuatu zat atau kondisi dan keadaan di mana bahaya tersebut terjadi. Hal tersebut juga memperhitungkan kondisi lingkungan dalam keadaan yang bisa berbahaya dalam bentuk intensitas dan lamanya pengaruh terhadap pekerja;
c. Mengadakan pengembangan teknik dan metode kerja untuk memperkecil risiko dengan melakukan pengendalian dan pengawasan atas penggunaan bahan-bahan yang berbahaya atau pada lingkungan-lingkungan di mana bahaya bisa terjadi.

5. Promosi Kerja
Promosi pekerjaan atau jabatan merupakan perkembangan yang positif dari seorang pekerja atau pegawai karena tugasnya dinilai baik oleh pejabat yang berwenang. Oleh karena itu, pemberian tanggung jawab dan kewenangan yang lebih tinggi patut diberikan kepada mereka yang berprestasi. Penilaian seorang pegawai dilakukan oleh pejabat yang membawahinya dan unit kerja biro yang mempunyai tugas untuk mengoleh seluruh biro yang mempunyai tugas untuk mengolah seluruh kegiatan administrasi kepegawaian.
Promosi bisa merupakan kenaikan pangkat, kenaikan jabatan, perpindahan lingkungan kerja yang lebih baik walaupun setingkat karena kompleksitas kerja, dan pemberian penghargaan lainnya.

6. Budaya Organisasi
Budaya organisai (organizational culture) adalah sekumpulan asumsi penting (keyakinan dan nilai-nilai) yang mempengaruhi opini dan tindakan dalam suatu perusahaan. Dalam perspektif pengembangan organisasi (organization development), budaya organisasi menggambarkan sistem sosial yang berlaku dalam sebuah perusahaan yang merangkum aspek-aspek kekuasaan atau kepemimpinan, nilai, norma dan ganjaran.
Kepemimpinan berkaitan erat dengan besarnya tingkat kewenangan dalam menerapkan budaya organisasi. Nilai mengacu pada standar nilai yang terutama berasal dari manajemen. Norma lebih diidentikkan dengan aturan main dalam perusahaan. Sementara ganjaran adalah sistem berikut mekanisme reward and punishment kepada karyawan yang melaksanakan budaya organisasi. Jika kepemimpinan akan sangat bergantung pada aspek skill (keterampilan/ kemampuan) yang dibutuhkan organisasi dan dimiliki oleh manajemen , maka ketiga aspek lainnya lebih banyak berhubungan dengan sistem yang disepakati untuk kemudian diterapkan dalam organisasi.

D. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan di atas, penyusun dapat menyimpulkan tentang betapa pentingnya membangun etos kerja Islami, yaitu sebagai berikut:
Etos kerja adalah semangat kerja yang mejadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok. Etos kerja dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh budaya, serta sistem nilai yang diyakininya. Dari kata etos ini, dikenal pula kata etika, etiket, yang hampir mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkenaan dengan baik-buruk (moral), sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuatu secara optimal, lebih baik, dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin;
Untuk membangun etos kerja Islami, seorang muslim harus memiliki ciri kepribadian seorang pekerja/karyawan yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai Islam seperti: menghargai waktu, bekerja dengan ikhlas, selalu jujur, memiliki komitmen, istiqomah, percaya diri, bertanggung jawab, disiplin, kreatif, melayani dengan prima (service excellence), dan lain-lain.
Selain itu, etos kerja Islami juga harus ditunjang dengan implementasi manajemen sumber daya manusia secara efektif dan efisien. Manajemen kerja yang harus ditegakkan antara lain adalah: pentingnya serikat kerja, hubungan pekerja, kesehatan dan keselamatan kerja, strategi keselamatan kerja, promosi kerja dan budaya organisasi.














Daftar Pustaka



Covey, Stephen R., Living The Seven Habit, 7 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif, (Jakarta: Binarupa Aksara, 2002).

Fathoni, Abdurrahmat, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, cet.I, 2006).

Nurdin, Ali, dkk., Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Faza Media, 2006).

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Edisi Ketiga, 2002).

Tasmara, Toto, Membudayakan Etos Kerja Islami, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002).

Yusanto, Muhammad, Ismail, & M. Karebet Widjajakusuma, Manajemen Strategis Perspektif Syariah, (Jakarta: Khairul Bayan, cet. I, 2003).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar